Hukum Melamar Perempuan Yang Sudah Dilamar

Pada suatu hari, ada kejadian yang menyebutkan bahwa salah seorang ustadz yang juga tokoh masyarakat di ibu kota, didatangi oleh seorang pemuda dengan maksud untuk melamar anak perempuannya yang belum menikah, ustadz tersebut menjawab:  “Anak saya sudah ada yang melamar.”

Apakah jawaban tersebut menunjukkan bahwa seorang perempuan yang sudah dilamar oleh laki-laki, baik perempuan tersebut menerima, menolak, atau belum memberikan jawaban atas lamaran tersebut, pasti tidak boleh bagi laki-laki lain untuk melamarnya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui terlebih dahulu bahwa para ulama membagi perempuan yang telah dilamar seorang laki-laki, menjadi tiga keadaan :

 

Keadaan Pertama :

Perempuan tersebut sudah dilamar oleh laki-laki lain dan telah menerima lamarannya, maka tidak dibenarkan laki-laki lain datang untuk melamarnya, sampai laki-laki yang pertama membatalkan lamarannya atau mengijinkan orang lain untuk melamarnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim,Kairo, Dar al Bayan, 1407/1987,  jilid 3, juz 9 : 197, begitu juga oleh Ibnu Qudamah, di dalam Al-Mughni, 10/ 567 .

Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ وَلَا يَسُومُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ

Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya.” (HR Muslim, no : 2519 )

Di dalam riwayat Ibnu Umar ra, bahwasanya ia berkata :

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

“ Nabi Muhammad saw telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya  meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang sebelumnya.” ( HR Bukhari, no : 4746 )

Hanya saja, para ulama berbeda di dalam menafsirkan larangan dalam hadits di atas, sebagian dari mereka mengatakan bahwa larangan tersebut menunjukkan keharaman, sedang sebagian yang lain  berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan makruh bukan haram. Bahkan Ibnu Qasim dari madzhab Malikiyah mengatakan: “Maksud dari larangan hadits di atas, yaitu jika orang yang shalih melamar seorang perempuan, maka tidak boleh laki-laki shalih yang lain melamarnya juga. Adapun jika pelamar yang pertama bukan laki-laki yang shalih (orang fasik), maka dibolehkan bagi laki-laki shalih untuk melamar perempuan tersebut.” (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1988, cet ke – 10 , juz :  2 /3 )

Apa hikmah di balik pelarangan tersebut? Hikmahnya adalah supaya pelamar pertama tidak kecewa, karena lamarannya yang sudah menerimanya kok tiba-tiba membatalkannya hanya karena datang laki-laki lain, dan ini akan berpotensi terjadinya permusuhan, kebencian, dan dendam antara satu dengan yang lain.

Bagaimana hukumnya jika laki-laki kedua bersikeras untuk melamarnya dan menikahinya ?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :

Pendapat Pertama menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi status pernikahan antara keduanya tetap sah dan tidak boleh dibatalkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Pendapat Kedua menyatakan bahwa penikahan keduanya harus dibatalkan. Ini adalah pendapat Dawud dari madzhab Zhahiriyah.

Pendapat Ketiga menyatakan jika keduanya belum melakukan hubungan seksual , maka pernikahannya dibatalkan, tetapi jika sudah melakukan hubungan seksual, maka tidak dibatalkan. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Imam Malik.

Adapun Imam Malik sendiri mempunyai dua riwayat, yang satu menyatakan batal, sedang riwayat yang lain menyatakan tidak batal. .  ( Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, juz :  2 /3 )

 

Keadaan Kedua :

Perempuan tersebut sudah dilamar laki-laki lain, tetapi perempuan tersebut  menolak lamaran itu atau belum memberikan jawaban. Di dalam mazhab Imam Syafi’i ada dua pendapat tentang masalah ini, yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah hukumnya boleh. ( Al Khatib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut, dar al Kutub al Ilmiyah, 1994, Cet ke – 1, Juz : 4/ 222 )

Dalilnya adalah hadist Fatimah binti Qais  yang telah dicerai suaminya Abu Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian beliau datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengadu :

قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ

Dia (Fathimah binti Qais) berkata: “ Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau( Rasulullah saw ) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda: “Adapun Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul ), sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: “Nikahlah dengan Usamah.” Lalu saya menikah dengan Usamah, maka Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku meras bahagia hidup dengannya. ( HR Muslim, no : 2709 )

Berkata Imam Syafi’i menerangkan hadits di atas :

وقد أَعْلَمَتْ فَاطِمَةُ رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم أَنَّ أَبَا جَهْمٍ وَمُعَاوِيَةَ خَطَبَاهَا وَلَا أَشُكُّ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ خِطْبَةَ أَحَدِهِمَا بَعْدَ خِطْبَةِ الْآخَرِ فلم يَنْهَهُمَا وَلَا وَاحِدًا مِنْهُمَا ولم نَعْلَمْهُ أنها أَذِنَتْ في وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَخَطَبَهَا على اسامة ولم يَكُنْ لِيَخْطُبَهَا في الْحَالِ التي نهى فيها عن الْخِطْبَةِ ولم أَعْلَمْهُ نهى مُعَاوِيَةَ وَلَا أَبَا جَهْمٍ عَمَّا صَنَعَا وَالْأَغْلَبُ أَنَّ أَحَدَهُمَا خَطَبَهَا بَعْدَ الْآخَرِ فإذا أَذِنَتْ الْمَخْطُوبَةُ في إنْكَاحِ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ لم يَجُزْ خِطْبَتُهَا في تِلْكَ الْحَالِ

“Fathimah telah memberitahukan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarnya, dan saya tidak ragu-ragu, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, bahwa lamaran salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang lain, dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pun tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak melarang salah satu dari keduanya. Kita juga tidak mendapatkan bahwa Fathimah telah menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melamar Fathimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah melamarnya dalam keadaan yang beliau larang (yaitu melamar seorang wanita yang sudah dilamar orang lain).  Saya juga tidak mendapatkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang perbuatan Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang dari keduanya melamar terlebih dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan yang dilamar tersebut telah menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan seperti, orang lain tidak boleh melamarnya lagi “ ( Al Umm, Beirut, Dar Kutub Ilmiyah, 1993, cet – 1 : Juz  5/ 64  )

Hal itu dikuatkan dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah melamar seorang wanita untuk tiga orang : Jarir bin Abdullah, Marwan bin Al Hakam, dan Abdullah bin Umar, padahal Umar belum mengetahui jawaban perempuan tersebut sama sekali. Hal ini menunjukkan kebolehan melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain dan dia belum memberikan jawabannya. (Ibnu Qudamah, al Mughni : 9/ 568 )

 

Keadaan Ketiga :

Perempuan yang dilamar tersebut belum memberikan jawaban secara jelas, hanya saja ada tanda-tanda bahwa dia menerima lamaran tersebut. Maka hukum melamar perempuan yang sudah dilamar dalam keadaan seperti ini, para ulama berbeda pendapat di dalamnya :

Pendapat Pertama: Hukumnya haram, sebagaimana kalau perempuan tersebut sudah menerima lamaran tersebut secara jelas dan tegas. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. Dalilnya adalah keumuman hadits Ibnu Umar yang menyebutkan larangan melamar perempuan yang sudah dilamar.

Pendapat Kedua: Hukumnya boleh, ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat dan Imam Syafi’i dalam qaul jadid (pendapat yang terbaru). Menurut kelompok ini bahwa di dalam hadits Fathimah binti Qais menunjukkan bahwa dia  (Fathimah ) sudah kelihatan tanda-tanda kecenderunganya kepada salah satu dari dua laki-laki yang melamarnya, tetapi walaupun begitu Rasululullah shalallahu alaihi wasallam tetap saja melamarkannya untuk Usamah. Ini menunjukkan kebolehan.

Selain itu, di dalam hadits tersebut tidak disebutkan bahwa nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bertanya terlebih dahulu sebelum melamarkan untuk Usamah, apakah Fathimah sudah cenderung kepada salah satunya atau belum. Hal ini menunjukkan bahwa kebolehan melamar seorang perempuan secara umum selama belum memberikan jawaban pada lamaran sebelumnya.

Pendapat yang lebih benar dari dua pendapat di atas adalah pendapat pertama yang menyatakan haram hukumnya melamar perempuan yang sudah kelihatan kecenderungannya kepada laki-laki yang melamarnya, walaupun belum diungkapkan dalam kata-kata, karena kecenderungan sudah bisa dianggap sebagai persetujuan. Wallahu a’lam.

Jakarta

10 Jumada ats Tsaniyah 1431 H/24 Mei 2010 M