Hukum, Keutamaan, dan Hikmah Kurban

A. Hukum

Meski cukup banyak dalil yang melatar-belakangi perintah menyembelih udh-hiyah, namun bukan berarti syariah ini hukumnya menjadi wajib. Sebagian ulama mewajibkannya memang, namun lebih banyak yang tidak mewajibkannya, mereka hanya mengatakan bahwa hukumnya sunnah muakkadah. Itu pun hanya berlaku buat yang mampu dan memenuhi syarat.

Sehingga bisa kita sebutkan bahwa dalam hal ini ada khilaf di kalangan ulama tentang hukum menyembelih hewan qurban:

1. Sunnah Muakkadah

Ini adalah pendapat jumhur ulama, yaitu mazhab Al Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al Hanbilah.

Selain ketiga mazhab besar itu, para shahabat yang termasuk berada pada pendapat ini adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Al Khattab, Bilal bin Rabah radhiyallahu’anhum. Termasuk Abu Ma’sud Al Badri, Said bin Al  Musayyib, Atha’, Alqamah, Al Aswad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ibnul Munzdir.

Bahkan Abu Yusuf meski dari mazhab Al Hanafiyah, termasuk yang berpendapat bahwa menyembelih hewan udh-hiyah tidak wajib, hanya sunnah muakkadah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah jilid 5 hal. 76)

Karena bukan wajib, maka kalau pun seseorang yang mampu tapi tidak menyembelih hewan qurban, maka dia tidak berdosa. Apalagi bila mereka memang tergolong orang yang tidak mampu dan miskin. Namun bila seseorang sudah mampu dan berkecukupan, makruh hukumnya bila tidak menyembelih hewan qurban.

Dalilnya adalah:

a. Hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

Bila telah memasuki 10 (hari bulan Zulhijjah) dan seseorang ingin berqurban, maka janganlah dia ganggu rambutnya dan kuku-kukunya.” (HR. Muslim dan lainnya)

Dalam hal ini perkataan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa seseorang ingin berkurban menunjukkan bahwa hukum berkurban itu diserahkan kepada kemauan seseorang, artinya tidak menjadi wajib melaikan sunnah. Kalau hukumnya wajib, maka tidak disebutkan kalau berkeinginan.

Tiga perkara yang bagiku hukumnya fardhu tapi bagi kalian hukumnya tathawwu’ (sunnah), yaitu shalat witir, menyembelih udh-hiyah dan shalat dhuha.” (HR. Ahmad dan Al Hakim)

b. Perbuatan Abu Bakar dan Umar

Dalil lainnya adalah atsar dari Abu Bakar dan Umar bahwa mereka berdua tidak melaksanakan penyembelihan hewan qurban dalam satu atau dua tahun, karena takut dianggap menjadi kewajiban.

Dan hal itu tidak mendapatkan penentangan dari para shahabat yang lainnya. Atsar ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi.

2. Wajib

Pendapat kedua menyebutkan bahwa menyembelih hewan udh-hiyah hukumnya wajib bagi tiap Muslim yang muqim untuk setiap tahun berulang kewajibannya. (Bidayatul Mujtahid jilid 1 hal. 415, Al Qawanin Al Firhiyah hal. 186, Mughni Al Muhtaj jilid 4 hal. 282, Al Mughni jilid 8 hal. 617, Al Muhadzdzab jilid 1 hal. 237.)

Yang berpendapat wajib adalah mazhab Abu Hanifah. Selain itu juga ada Rabi’ah, Al Laits bin Saad, Al Auza’i, Ats Tsauri dan salah satu pendapat dari mazhab Maliki.

Dalil yang mereka kemukakan sampai bisa mengatakan hukumnya wajib adalah ijtahad dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (Al Lubab Syarhul Kitab jilid 3 hal. 232 dan Al Bada’i jilid 5 hal. 62):

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (QS.Al-Kautsar: 2)

Menurut mereka, ayat ini berbentuk amr atau perintah. Dan pada dasarnya setiap perintah itu hukumnya wajib untuk dikerjakan.

Selain itu juga ada sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini yang menguatkan, yaitu

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak menyembelih qurban, janganlah mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al Hakim menshahihkannya).

Hadits ini melarang orang Islam yang tidak menyembelih udh-hiyah untuk tidak mendekati masjid atau tempat shalat.  Seolah-olah orang itu bukan Muslim atau munafik.

3. Sunnah ‘Ain dan Kifayah

Istilah sunnah ‘ain dan kiyafah mungkin agak asing lagi buat telinga kita. Biasanya yang kita kenal istilah fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Lalu siapa yang berpendapat demiian dan apa maksudnya?

Mazhab Asy Syafi’iyah berpendapat bahwa syariat menyembelih hewan udh-hiyah itu hukumnya sunnah ain untuk tiap-tiap pribadi Muslim sekali seumur hidup, dan sunnah kifayah untuk sebuah keluarga. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu jilid 4 hal. 246)

Sunnah ‘ain maksudnya ibadah ini bukan wajib hukumnya, tetapi sunnah, namun berlaku untuk orang per orang bukan untuk sunnah untuk bersama-sama. Minimal setiap orang Muslim disunnahkan untuk menyembelih udh-hiyah sekali seumur hidupnya. Perbandingannya seperti ibadah haji, dimana minimal sekali seumur hidup wajib mengerjakan haji.

Sedangkan yang dimaksud dengan sunnah kifayah adalah disunnahkan bagi sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak, setidaknya dalam satu rumah, untuk menyembelih seekor hewan udh-hiyah, berupa kambing.

Dalil yang mereka kemukakan adalah hadits nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:

Kami wuquf bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Aku mendengar beliau bersabda,’Wahai manusia, hendaklah atas tiap-tiap keluarga menyembelih udh-hiyah tiap tahun.’” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan At Tirmidzy)

4. Berubah Dari Sunnah Menjadi Wajib

Di mata para ulama yang punya pendapat bahwa menyembelih hewan udh-hiyah hukumnya sunnah, hukumnya berubah menjadi wajib apabila sebelumnya telah dinadzarkan.

Nadzar itu sendiri adalah sebuah janji kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang apabila permintaannya dikabulkan Allah, maka dia akan melakukan salah satu bentuk ibadah sunnah yang kemudian menjadi wajib untuk dikerjakan.

Nadzar untuk menyembelih hewan udh-hiyah membuat hukumnya berubah dari sunnah menjadi wajib. Baik dengan menyebutkan hewannya yang sudah ditentukan, atau tanpa menyebutkan hewan tertentu.

Kalau seseorang punya kambing yang menyebutkan bahwa kambingnya akan disembelihnya sebagai udh-hiyah apabila permohonannya dikabulkan Allah, maka wajib atasnya untuk menyembelih kambing itu, dan tidak boleh diganti dengan kambing yang lain.

Sedangkan kalau dia tidak menentukan kambing tertentu, hanya sekedar berjanji untuk menyembelih kambing udh-hiyah, maka boleh menyembelih kambing yang mana saja.

B. Keutamaan

Menyembelih hewan udh-hiyah adalah bagian dari rangkaian ibadah ritual dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Setiap tahun di seluruh dunia Islam, kaum Muslimin menyambut Idul Adha, selain dengan melakukan shalat ‘Id, juga melakukan ritual menyembelihan hewan-hewan udh-hiyah.

Bahkan jauh sebelum tibanya hari raya itu, hewan-hewan itu sudah dipersiapkan, dan bisnis jual-beli hewan udh-hiyah marak di berbagai tempat.

Di negeri kita, bahkan murid-murid sekolah dikoordinir oleh para guru untuk berpatungan membeli hewan udh-hiyah, dengan alasan sebagai upaya melatih mereka agar nantinya bisa melakukan ritual betulan.

Tentunya semua itu merupakan bukti betapa umat Islam sangat mendambakan balasan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas ibadah dan pengurbanan harta.

Lalu apa sajakah keutamaan ibadah yang satu ini, sehingga sedemikian besar hasrat umat Islam untuk mengerjakannnya?

Berikut ini adalah di antara keutamaan-keutamaan itu.

1. Amal Yang Sangat Dicintai Allah

Meski hukumnya sunnah muakkadah berdasarkan qaul yang rajih, namun tetap saja ibadah ini sangat utama untuk dikerjakan. Karena Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menjanjikan kepada umatnya yang melaksanakan ritual ini untuk mendapatkan sejumlah fasilitas nanti di hari akhir.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Tidaklah seorang anak Adam melakukan pekerjaan yang paling dicintai Allah pada hari nahr kecuali mengalirkan darah (menyembelih hewan qurban). Hewan itu nanti pada hari kiamat akan datang dengan tanduk, rambut dan bulunya. Dan darah itu di sisi Allah  Subhanahu Wa Ta’ala segera menetes pada suatu tempat sebelum menetes ke tanah.” (HR. Tirmizy 1493 dan Ibnu Majah 3126).

Hadits ini secara tegas menyebutkan tentang bagaimana keutamaan menyembelih hewan udh-hiyah. Setidaknya ada dua point besar yang disebutkan dalam hadits ini.

Pertama, ibadah ini termasuk di antara ibadah yang amat dicintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tidak semua jenis ibadah punya status dicintai Allah, dan di antara yang sedikit itu adalah menyembelih hewan udh-hiyah.

Kedua, hewan yang disembelih itu akan menjadi salah satu hal yang memberi manfaat untuk kita di akhirat nanti, di hari dimana tiap orang pasti sangat membutuhkan pertolongan.

2. Syiar Allah

Syiar adalah lambang, dimana suatu tempat yang mempunyai syiar tertentu dari agama Islam, akan dikenal sebagai negeri Islam. Ritual ibadah haji disebut sebagai syiar Allah. Namun ritual itu hanya bisa dilakukan di Mekkah dan sekitarnya, di negeri lain, syiar itu tidak kita dapatkan lewat ibadah haji. Lalu dengan cara bagaimana syiar Allah Subhanahu Wa Ta’ala bisa nampak nyata di negeri kita?

Jawabnya, salah satunya lewat penyembelihan hewan udh-hiyah. Menyembelih hewan udh-hiyah merupakan salah satu bentuk dari syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan juga syi’ar agama Islam.

Hal itulah yang dimaksudkan ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman di dalam Al Quran:

Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, dan sebutlah nama Allah atasnya.” (QS. Al Hajj: 36)

Maka penyembelihan hewan udh-hiyah adalah salah satu bentuk syiar atau lambang bagi syariat dan agama Islam. Menjelekkan dan menghina ritual penyembelihan hewan udh-hiyah berarti juga menghina lambang dan syiar agama. Karena itu syiar agama ini perlu untuk dijaga dan disucikan.

Sayangnya kesucian syiar agama ini seringkali dipertontonkan oleh umatnya dengan cara-cara yang kurang mencerminkan tema besar agama Islam, yaitu masalah kebersihan, kerapihan, dan keteraturan.

Padahal agama Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ketiganya. Maka eforia penyembelihan hewan udh-hiyah ini tetap wajib mengacu kepada tema besar, yaitu dengan tetap menjaga kebersihan, kerapihan, dan keteraturan.

Kalau kita bandingkan, kira-kira sama dengan masalah pernikahan, yang juga merupakan syiar para nabi. Pernikahan adalah sesuatu yang suci dan dijunjung tinggi, sehingga seseorang tidak dibenarkan menghina institusi pernikahan ini dengan cara-cara yang keliru, misalnya dengan melakukan kawin cerai seenaknya, atau saling menzalimi dengan sesama pasangan, atau bahkan diharamkan melakukan hubungan suami istri di tempat terbuka. Tidak mentang-mentang pernikahan itu sunnah dan syiar, lantas orang boleh bebas bercumbu di muka publik.

Maka demikian juga halnya dengan ritual penyembelihan hewan udh-hiyah, tidak mentang-mentang merupakan syiar, lantas kita boleh sembarangan mengotori lingkungan dengan membuat kandang kambing dan sapi dadakan, sambil menyebarkan polusi, najis dan kotoran di lingkungan pemukiman.

Mari kita contoh kota Mekkah dan Madinah, keduanya adalah pusat peradaban Islam. Menjelang Hari Raya Idul Adha, kita tidak melihat sepanjang trotoar kota itu berubah jadi kandang kambing, seperti yang saban tahun kita saksikan di Jakarta. Benar bahwa Jakarta adalah ibukota Indonesia, dimana bangsa ini adalah bangsa Muslim terbesar di dunia. Tetapi membuat kandang kambing di tengah kota dan pemukiman, sambil seenaknya saja merusak kesehatan lingkungan, mencemari kebesihan dan mengganggu kenyamanan dan keindahan, tentu bukan bagian dari syiar agama Islam.

Maka perlu dipikirkan oleh semua umat Islam di negeri ini, untuk tetap menjaga syiar-syiar agama Islam dengan sepenuh kesadaran untuk tetap menjunjung tinggi kebersihan, keindahan dan kenyamanan di lingkungan pemukiman.

Tidak ada salahnya penyembelihan dan juga pemusatan sementara hewan-hewan itu disiapkan dengan sebaik-baiknya, misalnya dengan menyewa lahan kosong yang jauh dari pemukiman penduduk.

Tetapi yang jauh lebih baik sebenarnya dengan melakukan ritual penyembelihan itu di rumah potong hewan yang khusus.

Mengapa? Karena rumah potong hewan itu sudah punya sanitasi yang baik, sehingga tidak akan mengotori tempat dan lingkungan kita. Tentu saja lebih afdhal lagi bila mereka yang berkurban itu sendiri yang melakukan penyembelihan sendiri biar lebih afdhal. Maka terbuka peluang bisnis besar, yaitu kursus menyembelih hewan, di rumah potong hewan. Tujuannya, agar semua menjadi afdhal.

Selain penyembelihan hewan udh-hiyah, tentu hari Raya Idul Adha sendiri juga merupakan syiar agama Islam. Hal itu diungkapkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika tiba di kota Madinah.

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam datang di Madinah, mereka di masa jahiliyyah memiliki dua hari raya yang mereka bersuka ria padanya, maka (beliau) bersabda: “Hari apakah dua hari ini?” mereka menjawab, “Kami biasa merayakannya dengan bersuka ria di masa jahiliyyah”, kemudian Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari raya yang lebih baik dari keduanya; hari ‘Idul Adha dan hari ‘Idul Fitri.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasai).

3. Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam

Menyembelih hewan udh-hiyah juga merupakan bagian dari sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bukan hanya menganjurkan umatnya merogoh saku mengeluarkan uang untuk membeli hewan udh-hiyah. Tetapi yang beliau sunnahkan adalah melakukan sendiri dengan kedua tangan beliau sendiri beliau melaksanakannya.

“Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyembelih dua ekor kambing kibash yang bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangan beliau, sambil menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di atas pangkal lehernya.” (HR. Muslim)

Sayangnya, yang justru sekarang ini lebih berkembang adalah jasa membelikan hewan udh-hiyah, menyembelihkan dan membagikan. Sedangkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam justru menganjurkan dan mencontohkan langsung bagaimana penyembelihan itu dilakukan dengan kedua tangan beliau.

Dan apa yang beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan itu punya nilai tersendiri di dalam syariat Islam, ketimbang misalnya beliau hanya berkata-kata atau memberi anjuran dan nasihat.

Sunnah nabi itu memang ada yang sifatnya hanya perkataan (sunnah quliyah), namun ada juga yang sifatnya perbuatan (sunnah fi’liyah). Dan para ulama umumnya lebih memberikan kekuatan pada dalil-dalil hadits yang sifatnya merupakan perbuatan langsung dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Selain itu menyembelih hewan udh-hiyah juga dilakukan oleh para shahabat beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sehingga menjadi sebuah tradisi yang berdasarkan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Maka setiap Muslim yang berqurban seyogyanya mencontoh beliau dalam pelaksanaan ibadah yang mulia ini.

4. Ibadah Yang Paling Utama

Menyembelih hewan udh-hiyah termasuk ibadah yang paling utama. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)’.” (QS. Al An’am: 162-163)

Juga firman-Nya:

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (QS. Al Kautsar: 2)

Sisi keutamaannya adalah bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam dua ayat di atas menggandengkan ibadah berqurban dengan ibadah shalat yang merupakan rukun Islam kedua.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika menafsirkan ayat kedua surat Al Kautsar menguraikan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya. (Majmu’ Fatawa jilid 16 hal. 531-532)

Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menggandengkan keduanya dalam firman-Nya:

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam’.” (QS. Al  An’am: 162)

Walhasil, shalat dan menyembelih qurban adalah ibadah paling utama yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Beliau juga menegaskan: “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah menyembelih qurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah shalat.”

C. Hikmah

Selain keutamaan yang menjadi motivator umat Islam melakukan ibadah penyembelihan hewan udh-hiyah, kita juga mengenal ada beberapa hikmah yang secara subjektif sering kita dengar dari umat Islam.

Di antara hikmah yang sering kita dapat dari ibadah ini antara lain adalah:

1. Menguatkan Hubungan Persaudaraan

Meski hanya sekerat daging, tetapi ketika diberikan secara ikhlas dan berangkat dari rasa cinta di hati, maka pembagian daging hewan udh-hiyah ini secara nyata dapat menguatkan hubungan persaudaraan di tengah umat Islam.

Sebuah pepatah menyebutkan: Manusia adalah budak dari kebaikan

Maksudnya, kalau kita bisa memberi begitu saja kebaikan kepada manusia, maka secara insting, kecenderungannya manusia itu pasti akan mau jadi budak kita.

Karena itulah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengkhususkan hewan udh-hiyah hanya terbatas diperuntukkan buat orang-orang miskin saja. Agak sedikit berbeda dengan zakat, daging ini juga dianjurkan untuk dihadiahkan kepada orang-orang yang kita cintai, atau orang-orang yang ingin kita dapatkan cintanya.

Dan orang-orang yang ingin kita dapatkan cintanya, bisa saja orang yang secara ekonomi mampu, bahkan berkecukupan. Sededar untuk beli daging satu atau dua kilo, sangat mudah bagi mereka. Jangankan sekilo, bahkan seribu ekor kambing pun bisa dibeli dengan tanpa takut menjadi miskin.

Tetapi daging yang hanya sekilo itu, kalau kita berikan dengan niat menyambung tali silaturrahmi, diberikan dengan sepenuh keikhlasan, serta semangat persaudaraan yang tinggi, akan menjadi jauh lebih besar maknanya.

Kadang-kita kita menemukan sosok yang kaya raya, tapi pelitnya minta ampun. Dan bila tidak kebagian jatah gratisan, dia bisa marah tidak karuan. Boleh jadi orang-orang seperti ini, perlu didekati dengan baik, lewat pemberian hadiah jatah daging udh-hiyah.

2. Sarana Dakwah

Dalam banyak program dakwah, khususnya di daerah miskin dan kekuarangan, dakwah yang hanya mengandalkan lidah saja kurang akan mendapat respon. Akan jauh berbeda kalau dakwah itu juga disertai dengan pemberian, meski nilainya mungkin tidak seberapa.

Membagikan daging hewan udh-hiyah tentu saja tidak akan pernah bisa mengentaskan problem kemiskinan. Tentu tidak tepat kalau kita berpikir bahwa ritual penyembelihan hewan udh-hiyah bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan. Sebab penyebab kemiskinan itu sebuah sistem yang dibangun dengan sangat canggih oleh musuh-musuh Islam, dan berlaku efektif di sepanjang barisan negeri-negeri Muslim.

Yang bisa kita harapkan dari proyek penyembelihan hewan udh-hiyah sebenarnya adalah sebuah oleh-oleh atau buah tangan, ketika kita tiba di suatu tempat yang ingin dijadikan objek dakwah.

Kalau kita mengirim 100 orang ustadz ke suatu wilayah, problem terbesarnya, belum tentu masyarakat akan menerima dakwah dan pengajaran dari mereka. Tetapi kalau sebelumnya kita kirim terlebih dahulu 100 ekor kambing, maka umumnya orang-orang akan punya perhatian yang lebih kepada dakwah yang kita jalankan.

Dan taktik seperti itulah sesungguhnya yang telah dilakukan oleh para penginjil di Indonesia. Mereka datang bawabukan dengan tangan kosong, tetapi tidak lupa membawa ‘oleh-oleh’.

Dan hewan udh-hiyah adalah salah satu bentuk oleh-oleh yang terbukti efektif untuk dibawa buat para juru dakwah.