Hendaknya Akal Menakar Kabar

Ujian paling besar di kalangan sebagian orang yang memakai gelaran ‘agamawan’ atau tokoh agama adalah apabila mereka tidak memiliki manhaj atau metode yang betul dalam memahami sesuatu fakta yang dikaitkan dengan Islam. Lalu, atas kurang teliti, atau ‘kurang pikir’ atau ‘memang tak mau pikir’ mereka menelan semua perkara yang dikaitkan dengan agama, baik hasil percakapan orang atau bahan bacaan yang mereka temui. Dari situlah lahirnya khurafat, carut marut, penambahan, fiksi pemikiran yang diberikan label agama. Jika hal itu terjadi terus menerus, maka kekeliruan terhadap agama akan berkembang, lantas agama akan dipersendaguraukan dan didustai.

Menilai

Sesuatu riwayat atau kisah atau matan yang hendak dianggap benar untuk dikaitkan dengan Islam dinilai secara kritis sejauh manakah keshahihan informasi tersebut. Ini mesti dilihat kepada sumber informasi; baik ia berasal dari al-Quran dan al-Sunnah atau tidak? Sementara jika riwayat itu bersumberkan hadis atau atsar; hendaklah dipastikan ia riwayat yang diterima di sisi ilmu periwayatan. Setelah proses ini selesai, dinilai pula sejauh manakah kemunasabahan suatu teks atau riwayat itu. Adakah ia bertentangan dengan al-Quran, atau realitas yang nyata, atau fakta sejarah yang tidak mungkin diperselisihkan, atau akal yang disepakati? Jika ini terjadi dan tiada jalan keluar untuk menserasikannya, maka riwayat itu ditolak.

Contohnya cerita bahawa Bahtera Nabi Nuh ‘Alaihis Salam thawaf Ka’bah dan shalat di makam Ibrahim dua raka`at. Ini semua adalah dusta. Tidak masuk akal. Nabi Nuh ‘Alaihis Salam ada sebelum Ibrahim ‘Alaihis Salam. Sementara Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Makam Ibrahim mengambil dari nama Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam. Di mana Ka’bah dan makamnya ketika itu untuk bahtera Nuh berthawaf? Dengan itu para ulama hadis menolak cerita ini. Termasuk yang tampil menolak riwayat tersebut al-Imam al-Syafi’i rahimahullah (al-Jurjani, al-Kamil fi Du’afa al-Rijal, 4/270, Beirut: Dar al-Fikr). Malang sekali, masih ada penceramah agama yang mendendangkan kisah kacau ini.

Pembunuhan Husain

Beberapa email saya terima mengadu mengenai sebuah tulisan dalam surat kabar ini yang menyatakan tentang sunnah membuat bubur pada sepuluh Muharram karena mengenangkan peristiwa pembunuhan Sayidina Husain bin ‘Ali rahimahullahuma. Ada yang ragu masuknya unsur Syiah ke dalam masyarakat yang tidak diajar menilai sesuatu dengan kritis. Saya katakan; “Kita tidak ragu asal-usul sesuatu unsur pemikiran atau pemahaman dari mana datangnya. Selagi ia benar atau tepata dengan fakta, datanglah dari mana saja, sekalipun dari Yahudi. Kebenaran tidak memilih bulu. Apa yang diragui adalah unsur tersebut terpinggir jauh dari kebenaran. Soal kelebihan amalan atau fadilat adalah ditentukan oleh Allah dan RasulNya.” Dalam riwayat shahih yang manakah yang menyebut kelebihan membuat bubur hitam atau merah atau apa warna saja pada Hari ‘Asyura? Apa yang pasti ia tidak pernah ada riwayat shahih yang menyuruh hal itu. Apa lagi peristiwa pembunuhan Husain bin ‘Ali terjadi pada tahun 61H, di zaman pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. (lihat: Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, 6/258, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah).

Terlanjur membicarakan tentang pembunuhan cucunda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini, al-Husain bin ‘Ali yang amat kita cintai, ingin saya jelaskan bahawa ahli sejarah banyak yang berpendapat bukan Yazid yang membunuhnya seperti yang didakwa.

Saya ingin memetik apa yang diulas oleh sejarawan besar, al-Imam Ibn Katsir (meninggal 774H): “Orang banyak mempunyai berbagai pendapat tentang Yazid bin Mu’awiyah. Ada yang mencintai dan mengangkatnya yaitu segolongan penduduk Syam yang beraliran Nasibiyyah. Adapun golongan Syiah Rafidah, mereka membencinya dan mengada-adakan berbagai pembohongan yang Yazid tidak lakukan. Banyak mereka menuduhnya zindiq (kafir yang berpura Muslim). Dia tidak sampai begitu. Sementara pihak yang lain, tidak menyukainya dan tidak pula mencercanya. Ini karena mereka tahu dia bukan zindik seperti yang dituduh oleh golongan Syiah Rafidah, namun pada zaman pemerintahannya terjadi berbagai peristiwa yang jelek dan perkara-perkara yang dibantah, bodoh dan keji. Paling parah adalah pembunuhan Husain bin ‘Ali di Karbala. Namun dia tidak tahu (mengarahkannya) dan barangkali dia tidak meridhainya” (al-Bidayah wa al-Nihayah, 6/256).

Kata tokoh pengkaji hadis al-Imam Ibn al-Salah (meninggal 643H): “Tidak shahih di sisi kami bahawa Yazid memerintahkan agar dibunuh al-Husain Radhiyallahu ‘anhu. Riwayat mereka yang dipercayai bahwa perintah agar dibunuh al-Husain dari orang yang mengepalai dalam pembunuhannya yaitu `Ubaid Allah bin Ziyad, gubernur Iraq ketika itu” (Ibn Tulun, Qaid al-Syarid min Akhbar Yazid m.s. 57, Kaherah: Dar al-Sahwah, Kairo).

Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah (meninggal 728H) mempunyai ulasan yang menarik, katanya: “Ketika kaum keluarga Husain datang kepada Yazid, dia memuliakan mereka dan mengiringi mereka ke Madinah. Diriwayatkan dia melaknat Ibn Ziyad atas pembunuhan al-Husain. Katanya: “Aku meridhai ketaatan penduduk Iraq tanpa membunuh al-Husain”. Namun begitu beliau tidak menampakkan bantahannya, membela kematiannya dan mengambil tindakan membunuh balas sedangkan itu adalah kewajibannya. Maka dengan itu, pendukung kebenaran mengutuknya disebabkan dia meninggalkan kewajiban di samping perkara-perkara lain. Adapun musuh-musuhnya mereka menambah pendustaan ke atasnya berbagai macam hal.” (Ibn, Taimiyyah, Majmu’ al-Fatwa, 2/253, Riyadh: Maktab al-‘Abikan).

Unsur Syiah

Unsur Syiah bukan baru dalam masyarakat kita, walaupun ia belum terlalu kuat. Ini dapat dilihat bagaimana orang Melayu menamakan akar-akar kayu dengan nama ‘Ali dan Fatimah; seperti tongkat Ali dan akar Fatimah. Tidak dinamakan tongkat Abu Bakr atau ‘Umar, tidak juga akar ‘Aishah, atau Habsah. Dalam mantra juga ada menyebut: “fu kiri, fu kanan, berkat doa baginda ‘Ali”.

Jika sekadar nama ‘Ali atau Fatimah tiada salahnya. Mereka ialah kaum keluarga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang amat kita kasihi. Sebaliknya, yang ditakuti apabila perkara yang tidak termasuk agama dianggap agama dalam Islam. Itu yang menakutkan. Sehingga di Pakistan, Iraq, Iran dan kawasan-kawasan yang kuat pegangan Syiahnya, pada hari ‘Asyura mereka mencederai diri masing-masing dengan alatan tajam karena mengenang Sayidina Husain dan kekejaman Yazid. Ribuan bahkan ratus ribu kaum Syiah berkumpul pada sepuluh Muharram saban tahun melukai tubuh dengan darah dan membasahi pipi dengan airmata mendendami Yazid dan mengenang al-Husain bin ‘Ali. Lalu peristiwa hitam semalam, terus menjadi dendam hingga ke hari ini. Siapakah sasarannya? Apapun jawabannya, ia adalah antara sebab terpisahnya Sunni dan Syi’ah. Satu ajaran yang hidup dalam nostagia luka yang sebagiannya mungkin benar, sebagiannya mungkin palsu.

Apapun, saya tidak dapat membayangkan jika seseorang yang ingin menganut Islam hadir menyaksikan upacara yang dikaitkan dengan Islam yang dipenuhi manusia yang mencedera dan melukai diri sendiri, apakah dia akan terus menganggap agama yang mengembangkan akal dan jiwa, mudah dan lurus mencapai Tuhan? Atau mungkin dia tidak dapat membedakan antara ajaran Kristen yang mendakwa darah Yesus terpaksa ditumpah untuk menebus dosa manusia, atau mungkin dia akan keliru dengan agama sesat yang menyuruh penganutnya berjalan atas api dan melukai diri untuk menunaikan nazar atau menebus dosa? Saya tidak tahu pasti. Apa yang pasti adalah itu bukan sifat Islam seperti yang terkandung indah dalam al-Quran dan al-Sunnah.

Prof. Madya Dr. Muhammad Asri Zainul Abidin