Fiqih Air Musta’mal dalam Pandangan 4 Madzhab

Jenis yang kedua dari pembagian air adalah air yang telah digunakan untuk bersuci, baik air yang menetes dari sisa bekas wudhu’ di tubuh seseorang atau sisa juga air bekas mandi janabah. Air bekas dipakai bersuci bisa saja kemudian masuk lagi ke dalam penampungan. Para ulama seringkali menyebut air jenis ini air musta’mal.

Kata musta’mal berasal dari dasar ista’mala – yasta’milu استعمل – یستعمل) ) yang bermakna menggunakan atau memakai. Maka air musta’mal maksudnya adalah air yang sudah digunakan untuk melakukan thaharah yaitu berwudhu atau mandi janabah.

Air musta’mal berbeda dengan air bekas mencuci tangan atau membasuh muka atau bekas digunakan untuk keperluan lain selain untuk wudhu’ atau mandi janabah. Air sisa bekas cuci tangan cuci muka cuci kaki atau sisa mandi biasa yang bukan mandi janabah statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan. Air itu tidak disebut sebagai air musta’mal karena bukan digunakan untuk wudhu atau mandi janabah.

Lalu bagaimana hukum menggunakan air musta’mal ini? Masih bolehkah sisa air yang sudah digunakan untuk berwudhu atau mandi janabah digunakan lagi untuk wudhu atau mandi janabah?

Dalam hal ini memang para ulama berbeda pendapat apakah air musta’mal itu boleh digunakan lagi untuk berwudhu’ dan mandi janabah?.

Perbedaan pendapat itu dipicu dari perbedaan nash dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang kita terima dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Beberapa nash hadits itu antara lain:

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ”Janganlah sekali-kali seorang kamu mandi di air yang diam dalam keadaan junub.” (HR. Muslim)[1]

”Janganlah sekali-kali seorang kamu kencing di air yang diam tidak mengalir kemudian dia mandi di dalam air itu.” (HR Al Bukhari)[2]

Dalam riwayat Muslim yang lain,”Mandi dari air itu.”[3]

Dalam riwayat Abu Daud,”Janganlah mandi janabah di dalam air itu.”[4]

Dari seseorang yang menjadi shahabat nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, ”Rasululllah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang seorang wanita mandi janabah dengan air bekar mandi janabah laki-laki. Dan melarang laki-laki mandi janabah dengan air bekas mandi janabah perempuan. Hendaklah mereka masing-masing menciduk air. (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)[5]

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mandi dengan air bekas Maimunah radhiyallahuanhu (HR. Muslim)[6]

Riwayat Ashhabus Sunan: ”Bahwasanya salah satu isteri Nabi telah mandi dalam satu ember kemudian datang Nabi dan mandi dari padanya lalu berkata isterinya ”saya tadi mandi janabat maka jawab Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.: ”Sesungguhnya air tidak ikut berjanabat.”[7]

Namun kalau kita telliti lebih dalam ternyata pengertian musta’mal di antara fuqaha’ mazhab masih terdapat variasi perbedaan.

Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan para fuqaha tentang pengertian air musta’mal atau bagaimana suatu air itu bisa sampai menjadi musta’mal:

a. Mazhab Al Hanafiyah[8]

Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu’ atau mandi.

Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu’ untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu’ sunnah atau mandi sunnah.

Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta’mal. Bagi mereka air musta’mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu’ atau mandi.

b. Mazhab Al Malikiyah[9]

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu’ atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu’ atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).

Dan sebagaimana Al Hanafiyah, mereka pun mengatakan ‘bahwa yang musta’mal hanyalah air bekas wudhu atau  mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang  membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan.

Artinya bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudhu’ atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai).

c. Mazhab Asy Syafi’iyyah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu’ atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu’.

Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu’ maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh.

Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu’ atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan.

d. Mazhab Al Hanabilah[10]

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang  telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu’) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna rasa maupun aromanya.

Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti menuci muka yang bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudhu’. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan dengan ritual ibadah wudhu’.

Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu’ atau mandi maka belum dikatakan musta’mal. Hukum musta’mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu’ atau mandi lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu’ atau mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta’mal.

Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta’mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah maka tidak mengakibatkan air itu  menjadi ‘tertular’ ke-musta’mal-annya.

Batasan Volume 2 Qullah

Para ulama ketika membedakan air musta’mal dan bukan (ghairu) musta’mal membuat batas dengan ukuran volume air. Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air menjadi musta’mal.

Bila volume air itu telah melebihi volume minimal maka air itu terbebas dari kemungkinan musta’mal. Itu berarti air dalam jumlah tertentu meski telah digunakan untuk wudhu atau mandi janabah tidak terkena hukum sebagai air musta’mal.

Dasarnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu mengatakan, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda: “Jika air itu telah mencapai dua qullah tidak mengandung kotoran. Dalam lafadz lain:”tidak najis.” (HR Abu Dawud Tirmidhi Nasa’i Ibnu Majah)[11]

Hadits inilah yang mendasari keberadaan volume air dua qullah yang menjadi batas volume air sedikit. Disebutkan di dalam hadits ini bahwa ukuran volume air yang membatasai kemusta’malan air adalah 2 qullah. Jadi istilah qullah adalah ukuran volume air. Ukuran volume air ini pasti asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter kubik atau barrel.

Sedangkan istilah qullah adalah ukuran yang digunakan di masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup. Bahkan 2 abad sesudahnya para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl ( رطل ) yang sering diterjemahkan dengan istilah kati.

Sayangnya ukuran rithl ini pun tidak standar di beberapa negeri Islam. 1 rithl buat orang Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran 1 rithl buat orang Mesir. Walhasil ukuran ini agak menyulitkan juga sebenarnya.

Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qullah itu adalah 500 rithl Baghdad. Tapi kalau diukur oleh orang Mesir jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir mengukur 2 qullah dengan ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 rithl.

Lucunya begitu orang-orang di Syam mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl juga jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian mereka semua sepakat volume 2 qullah itu sama yang menyebabkan berbeda karena volume 1 rithl Baghdad berbeda dengan volume 1 rithl Mesir dan volume 1 rithl Syam.

Lalu sebenarnya berapa ukuran volume 2 qullah dalam ukuran standar besaran international di masa sekarang ini?

Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran yang berlaku di zaman sekarang. Dan ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter.[12]

Jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter lalu digunakan untuk berwudhu mandi janabah atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu’ maka air itu dianggap sudah musta’mal.

Air itu suci secara fisik tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu’ atau mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu’ seperti cuci tangan biasa maka tidak dikategorikan air musta’mal.

_____________________________________


[1] Shahih Muslim – 283

[2] Shahih Bukhari – 239

[3] Shahih Muslim – 282

[4] Sunan Abu Daud – 70

[5] Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Daud (81) dan An-Nasa’i jilid 1 halaman 30 dari jalur Daud bin Abdullah Al Adawi dari Hamid Al Humairi.

[6] Shahih Muslim -323

[7] Ibnu Khuzaemah dan At-Tirmidzi menshahihkan hadits ini

[8] Lihat pada kitab Al Badai’ jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad Dur Al Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61.

[9] Lihat As Syahru As Shaghir jilid 37 halaman 1-40, As Syarhul Kabir ma’a Ad-Dasuqi jilid 41 halaman 1-43, Al Qawanin Al Fiqhiyah halaman 31, Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 26 dan sesudahnya

[10] Lihat Mughni Al Muhtaj jilid 1 halaman 20 dan Al Muhazzab jilid 5 halaman 1 dan 8

[11] Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban

[12] Dr. Wahbah Az Zuhayli, Al Fiqhul Islmai wa Adillahutuh, Jilid 1 halaman 122