Filosofi Hijrah HOS Tjokroaminoto

Senin siang (13/4) saya berkesempatan nonton film “Guru Bangsa Tjkroaminoto”.

Di film garapan sutradara kawakan Garin nugroho ini terdapat kata ‘HIJRAH’ yang sering disebut-sebut oleh artis Reza Rahadian. Reza berperan sebagai HOS Tjokroaminoto.

Kabarnya, Maia Estianty, yang merupakan cicit HOS Tjokroaminoto, juga terlibat dalam pembuatan film ini.
“Gus, sudah sampai kemana hijrah kita?” tanya Cokro kepada Haji Agus Salim, rekan seperjuangannya di Sarekat Islam, organisasi politik pertama yang menyeruakan kemerdekaan bumiputra terhadap penjajahan Belanda di awal tahun 1900-an.

Kepada istrinya pun, Tjokroaminoto berulang-ulang mengucapkan kata hijrah. Ketika bercermin, kata hijrah yang ia ucapkan. Di dalam hutan, hijrah lagi yang ia ucapkan. Terus menerus kata hijrah tidak luput dari kata kunci utama dalam film itu.

Dan di akhir cerita film, dalam pencarian makna HIJRAH-nya, Tjokro yang jadi tokoh utama menyimpulkan, bahwa hijrahnya itu adalah: SETINGGI-TINGGINYA ILMU,  SEPANDAI-PANDAINYA SIASAT DAN SEMURNI-MURNINYA TAUHID. Lantas kesimpulan tersebut dituangkan di dalam kongres Partai yang dipimpinnya sehingga menjadi Program Azas dan Tandzim partai.

Adapun pada tahun 1934 sepeninggal ketua umum PSII, Tjokroaminoto, maka kepemimpinan jatuh pada adik almarhum sendiri yaitu Abi Kusno Tjokrosoejoso dan wakil ketuanya adalah SM Kartosuwirjo. PSII dengan pimpinan baru mengadakan Kongres ke 23, dimana Syuro PSII menetapkan dan menugaskan SM Kartosuwirjo untuk menyusun brosur Hijrah. Setelah tersusun sebanyak 2 jilid, maka PSII menetapkan brosur tersebut sebagai konsep partai namun akibatnya terjadi pro dan kontra akan konsep partai yang baru. Karena konsep tersebut jelas menggariskan sikap non-koopertif yang radikal.

Melihat kegoncangan sebagai reaksi dari konsep Hijrah, maka Abi Kusno mengadakan pemantauan ulang terhadap konsep tersebut yang akhirnya dia menyatakan pembatalan konsep hijrah sebagai konsep partai. Namun SM Kartosuwirjo berdiri di satu pihak untuk tetap mempertahankan konsep hijrah yang sudah jelas kebenarannya dan juga merupakan kelanjutan dari ide almarhum Bapak HOS Tjokroaminoto.

Selain kata hijrah, yang banyak disentuh film itu adalah nama Semaun dan kawan-kawan yang menyuarakan ideologi ke kiri-kirian dan dimunculkan juga sosok Sneevliet, orang buangan Belanda yang pada akhir cerita film itu di deportasi ke Negaranya, Belanda.
Selain Semaun, sang Pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berawal dari Sarekat Islam Merah, ada nama Kusno, atau Soekarno, sang ploklamator yang banyak disorot kedua setelah peran Semaun dalam film itu.
Dari awal cerita dalam film itu, ada istilah ‘sama rata, sama rasa’. Seolah menggambarkan perkumpulan baru yang dibangun Tjokroaminoto adalah sama rata sama rasa. Tidak memisahkan kaum buruh dan petani dengan kaum priyayi. Minoritas bisa menjadi mayoritas dan mayoritas bisa menjadi minoritas, rakyat kecil bisa menjadi pejabat.

Namun, ada satu hal yang aneh dalam film itu, dari ketiga murid terkenal Tjokroaminoto, yakni: Semaun, Soekarno dan Kartosuwirjo. Hanya nama Kartosuwirjo yang tidak disebutkan sama sekali dari awal hingga selesainya jalan cerita. Saya tidak tahu apa maksud semua ini. Padahal dalam sejarahnya, istilah yang terus diucapkan berulang kali dalam film itu oleh Tjokroaminoto di teruskan perjuangannya oleh SM Kartosuwirjo. Kartosuwirjo lah yang diberi tugas untuk menyusun brosur Hijrah yang hingga dua jilid itu. Logikanya, masa keputusan kongres partai tentang brosus hijrah, bisa dibatalkan begitu saja oleh pimpinan partai yang pada saat itu Abi Kusno sebagai pucuk pimpinannya.

Pertanyaan itu, memang pantas diberikan pada Garin Nugroho, “Mengapa?”