Economy for the Needy

Ada beberapa pelajaran berharga yang cukup penting untuk diketahui dari Microfinance Conference 2012 yang diselenggarakan oleh Kementerian Koperasi dan UMKM di Yogyakarta pada tanggal 22-23 Oktober 2012. Dari sekian pesan yang disampaikan oleh banyak narasumber, menurut saya pesan yang disampaikan oleh Presiden SBY dan Prof. Muhammad Yunus cukup berharga untuk direnungkan lebih dalam. Pokok-pokok pesan beliau adalah sebagai berikut:

Presiden RI Dr. Susilo Bambang Yudhoyono

  1. Dengan tagline “Sustainable Growth with Equity” diharapkan pencapaian pembangunan ekonomi Indonesia tidak hanya terlihat secara kuantitas tetapi juga secara kualitas yang dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
  2. Aplikasi pembangunan dilakukan dengan berfokus pada; (i) pro-growth (pertumbuhan ekonomi); (ii) pro-job (penciptaan lapangan kerja/penurunan pengangguran); (iii) pro-poor (mengentaskan kemiskinan); (iv) pro-environment (menjaga kelestarian alam/ramah lingkungan).
  3. Tantangan yang harus dihadapi adalah; upaya menurunkan angka kemiskinan bukanlah hal yang mudah dan potensi melebarnya kesenjangan antara golongan kaya dan miskin.
  4. Diperlukan keterpaduan program dari semua lembaga pemerintah dan semua komponen masyarakat. Program tersebut harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat di pasar karena tidak selamanya mekanisme pasar (invisible hand) dapat bekerja dengan optimal (market failure) akibat fokus pada kepentingan business. Diperlukan program berupa government intervention (visible hand) seperti program-program yang berpihak pada rakyat miskin (pro-poor).
  5. Salah satu program tersebut adalah program Kredit Usaha Rakyat (Kredit UMKM dengan garansi). KUR saat ini telah mencapai nominal Rp 87 triliun, melayani 7 juta unit usaha baru, NPL relatif menurun dari pada kredit non-KUR. Program ini diyakini mampu mendukung upaya penurunan tingkat kemiskinan yang kini menjadi 12% dan tingkat pengangguran 6%.
  6. Dalam rangka menuju pada pencapaian sasaran ekonomi; Economic Security, maka program “keuangan untuk semua” (financial inclusion) diharapkan dapat optimal dirasakan hasilnya oleh masyarakat. Program seperti “Tabunganku” yang telah menjaring 2 juta nasabah baru dan “Branchless Banking”, menjadi program yang signifikan dalam mendukung pencapaian tujuan program financial inclusion.
  7. Beberapa negara dalam G-20 sepakat bahwa penting membangun global networking in financial inclusion. Namun kegiatan financial inclusion bukanlah tujuan akhir. Tujuan dari upaya ini adalah: (i) pengentasan kemiskinan; (ii) penurunan angka pengangguran; (iii) economic security; (iv) financial access; dan (v) pengembangan koperasi.

Prof. Muhammad Yunus

  1. 36 tahun yang lalu ketika Grameen Bank dimulai tidak pernah terfikir bahwa isu financial incusion akan meng-global seperti yang terjadi saat ini. sama halnya, tidak pernah terfikirkan ketika itu runtuhnya satu negara besar Uni Soviet dan tembok Berlin yang menyatukan dua negara Jerman. 25 tahun yang lalu ekonomi China, India dan Indonesia belum begitu dikenal, sama halnya dimana Handphone belum sampai di tangan para petani di pedesaan. Tapi so many surprises happen.
  2. Kini diperkirakan 20 tahun mendatang, ekonomi China akan menjadi ekonomi terbesar di dunia dan India akan menjadi terbesar kedua, sementara Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar kedelapan. Diperkirakan pula gabungan ekonomi China dan India akan mengalahkan ekonomi dunia sisanya. Fakta ini sepatutnya menjadi pelajaran yang berharga bagi semua pihak dalam mengupayakan perbaikan ekonomi, khususnya upaya mewujudkan kondisi ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat miskin.
  3. Atas dasar pertimbangan tadi, inclusive banking system bukanlah hal yang mustahil. Terlebih lagi fakta yang ada saat ini dimana krisis keuangan dan perbankan (di Eropa dan Amerika) semakin merefleksikan kekacauan pada sistem yang ada. Kita tidak berbicara apakah kapitalisme akan hancur, tetapi kita sedang bicara bagaimana mewujudkan sistem yang lebih baik yang melayani dan bermanfaat bagi semua pihak (memang menarik berbicara apa yang sudah terjadi tetapi akan lebih bermanfaat untuk berbicara tentang masa depan). Oleh sebab itu, menyikapi kondisi yang ada, jangan melakukan apa-apa yang lazim dalam bingkai sistem yang ada. It is better we start to do something different.
  4. Pada dasarnya Grameen tidak fokus untuk mengaplikasikan kredit mikro, tetapi relatif fokus pada upaya untuk melayani kebutuhan masyarakat miskin. Selain kebutuhan akses permodalan masalah utama yang dihadapi masyarakat Bangladesh adalah kondisi kesehatan yang buruk; misalnya maraknya masalah gizi dan lingkungan buruk berujung pada kondisi anak-anak yang banyak mengalami rabun senja dan diare. Sehingga perbaikan ekonomi dilakukan melalui perbaikan tingkat kesehatan masyarakat agar mereka mampu bekerja lebih maksimal dan biaya sosial keluarga dapat ditekan.
  5. Oleh sebab itu, saat ini pengembangan Grameen bukan hanya disisi akses keuangan untuk usaha tetapi juga asuransi kesehatan (3 dollar pertahun per keluarga), akademi perawat (merespon kurangnya tenaga perawat dimana kondisi Bangladesh saat itu memliki rasio 3 dokter hanya tersedia 1 perawat, dalam programnya grameen mengajak anak-anak perempuan dari keluarga Grameen untuk dididik menjadi perawat di akademi perawat yang didirikan oleh Grameen) dan pendirian i-Care Hospital (kini sudah berkembang menjadi 3 rumah sakit).
  6. Dengan paradigma melayani kebutuhan rakyat miskin itulah, kini Grameen mengembangkan “Social Business”, yaitu perusahaan yang relatif fokus pada pemecahan masalah rakyat (Problem Solving Company) dimana perusahaan tersebut lebih bergelut pada “solving problem business” dari pada “making money business”. Projek-projek yang dilakukan seperti: (i) projek pengadaan air bersih bagi rakyat miskin (kumuh) bekerjasama dengan perusahaan air swasta (kondisi Bangladesh memang menghadapi kondisi air permukaan yang terpolusi dan air tanah yang terkontaminasi/asin); (ii) projek pengadaan kelambu nyamuk bekerjasama dengan perusahaan kimia Jerman mengingat wilayah Bangladesh yang rentan dengan penyakit malaria; dan (iii) projek pengadaan sepatu murah bagi anak-anak sekolah bekerjasama dengan perusahaan sepatu Adidas.
  7. Social Business yang dilakukan ini berbeda dengan kegiatan philanthropy. Social business cenderung memutarkan dana dalam bingkai usaha komersil namun bertujuan sosial, sementara philanthropy cenderung tidak ada perputaran dana (one way money use).
  8. Dalam melayani masyarakat miskin perlu diingat bahwa tidak ada yang salah pada mereka rakyat miskin, yang salah terletak pada sistem yang memang tidak mampu mengakomodasi kepentingan mereka. Manusia itu memiliki potensial yang tak terbatas, namun kadangkala sistemlah yang menekan potensi manusia tersebut. Jadi saat ini kita membutuhkan upaya untuk menciptakan suatu sistem yang baik. Dan memunculkan social business merupakan rangkaian upaya mewujudkan sistem yang baik tersebut.

Mudah-mudahan memberikan inspirasi.

Oleh : Ali Sakti
FacebookBlog