Cara Melepaskan Diri dari ‘Belitan Ular’

Manusia sangat identik dengan masalah. Jangankan manusia, makhluk apapun yang hidup, pasti punya masalahnya sendiri-sendiri. Kebanyakan orang akan selalu memberontak saat terbelit masalah. Karena pada hakikatnya, dibelit masalah itu sangat tidak nyaman. Menyebabkan naluri alamiah makhluk hidup, untuk selalu melawan.

Memang setiap masalah harus kita pecahkan dengan baik dan sungguh-sungguh. Tapi di suatu titik, terkadang kita terjebak masalah terasa bagai terjebak dalam belitan ular besar. Mau kemanapun sudah tak bisa. Ular besar membunuh seekor tupai dengan cara menjerat sang tupai sekuat-kuatnya hingga tak ada lagi perlawanan.. Hingga sang mangsa tak lagi berdaya apa-apa. Tinggal terserah sang ular, mau dimakan dengan cara bagaimana.

Lalu bagaimana caranya tupai tersebut melepaskan diri dari jeratan sang ular? Tupai tersebut ternyata memilih pasrah, menerima keadaan, melemaskan ototnya, dan mengikuti kemanapun gerakan sang ular. Hingga akhirnya sang ular menganggap si tupai sudah mati. Padahal si tupai yang tengah berpasrah, hanya sekedar terlihat seperti mati. Akhirnya belitan ular meregang. sang tupai yang setengah heran pun berlari menjauhi ular menuju hutan. Dari sini, saya yakin pembaca sudah menebak bahwa saya hanya akan mengumpamakan “masalah” sebagai belitan ular, lalu “pura-pura mati” adalah solusinya. Maaf, ternyata tidak sesederhana itu.

Pesan pertama.. Pada awalnya ia terjerat, sang tupai ternyata tetap berusaha memberontak. Namun semakin memberontak jeratan semakin kuat. hingga ke akhirnya tak ada gerakan sekecil apapun yang tak dapat diperbuat. Barulah kemudian ia bersikap pasrah. Hal ini menunjukkan bahwa masalah sebesar apapun, ikhtiar dalam menyelesaikan tetaplah harus yang utama dan pertama dilakukan. Bila sejak awal bertemu sang ular, si tupai sudah pura-pura mati, justru ular akan langsung melahapnya. Bila sejak awal dihadapkan dengan masalah sudah langsung menyerah, tak akan pernah lulus kita dalam ujian-Nya.

Pesan kedua.. Sang tupai yang telah menemui jalan buntu akhirnya ia pasrah. Menerima segala kemungkinan. Tak ada lagi penolakan. Menerima kodrat sebagai makhluk yang lemah. Anda yang divonis sakit keras oleh dokter, silahkan berikhtiar sebisanya. Menjalani penyembuhan dari manapun, bila perlu mencari biaya secukup mungkin. Namun ada saatnya kita perlu berpikir. Mungkin sakit ini memang jalan Allah mengampuni dosa. Bila memang itu hal yang baik, mengapa tidak kita mulai coba menerima kondisi yang ada. Regangkan segala ego, pasrahkan pada yang maha berkehendak.

Pesan ketiga.. Sang tupai sudah tak lagi memikirkan apa yang akan terjadi. Sang tupai yang sebelumnya telah berusaha sekuat tenaga melakukan apapun yang ia bisa, menyerahkan masalah hasil pada Yang Maha Kuasa. Aneh ya? Seekor tupai saja, di hadapan ular yang siap memakannya ia mampu berpasrah. Sedangkan manusia seringkali keras kepala, mati-matian menolak segala ketentuan Tuhan, tak jarang menyalahkan orang lain, bahkan seringkali menghujat Tuhan, mempertanyakan dimanakah keadilan yang dijanjikan. Padahal seberat apapun ujian itu datangnya dari Tuhan, sesungguhnya kebaikan yang tersimpan di baliknya sungguhlah jauh lebih besar. Ketika sang ular merasa bahwa mangsanya telah mati, ia pun melepaskan jeratannya. Sebagaimana ujian, ketika yang sedang diuji dirasa telah cukup teruji kesabarannya, nantinya pasti akan muncul buah kesabaran itu.

Segala permasalahan / ujian yang sedang menimpa bolehlah kita berikhtiar sekuat tenaga mencari jalan keluarnya. Namun perlu diingat, jangan pernah lupa menyandarkan segala hasil pada sebaik-baik tempat bersandar. Seorang sahabat saya yang merupakan terapis penyembuhan menggunakan metode penyembuhan secara emosional dan mengembalikan kembali pasien untuk bersandar pada tuhan-Nya. Ia juga menggabungkan dengan metode pelancaran peredaran darah pada titik-titik akupuntur tubuh.

Ia menceritakan, segala gejala penyakit bagaikan bongkahan besar gunung es di lautan. Dokter hanya mampu mengobati gejala yang timbul dipermukaan, inilah yang biasanya menyebabkan sebuah penyakit ketika sembuh, dikemudian hari akan kambuh dan kambuh lagi. Karena sesungguhnya masih tersimpan gejala yang lebih besar di bawah permukaan air hingga ke dasar lautan. Itulah yang diumpamakan sebagai dosa-dosa pribadi kita ataupun berbagai permasalahan emosi di dalam diri.

“Apakah metode itu selalu berhasil?” saya bertanya.

“Urusan sembuh ataupun tidak, adalah urusan sejauh apa ia mampu kembali menyandarkan diri pada ketentuan Allah. Sanggupkah ia mencapai unconditional gratitude, bersyukur tanpa syarat atas apa yg terjadi. Kemudian define love, merepresentasikan sifat kasih sayang Tuhan, pada makhluk lain. Bilapun ia tidak sembuh secara fisik, setidaknya kami berfokus untuk penyembuhan jiwanya, dan menyandarkan kembali dirinya pada tuhannya. Setidaknya kami berusaha membuatnya bahagia dan bersyukur terhadap sakitnya dan segala ujiannya. Sehingga bilapun ia harus berpulang pada Tuhannya, ia berpulang dalam keadaan penuh pasrah dan bahagia.”

Lalu beliau menambahkan, “Dan biasanya, yang akhirnya sembuh ternyata justru mereka yang benar-benar sudah ikhlas atas apa yang menimpanya, yang justru saat itu benar-benar sedang bahagia-bahagianya dengan penyakitnya, yang merasa begitu dicintai Tuhannya atas kado terindah dari-Nya, yakni penyakitnya tersebut.”

Tak hanya sekedar urusan penyakit fisik, ujian dalam bentuk apapun juga sama. Gejala yang harus lebih banyak kita tanggulangi adalah gejala yang ada di dalam diri. Banyak-banyak beristigfar, menelusuri dan mengakui setiap dosa dan kesalahan, lalu bersungguh-sungguh takkan mengulangi. Bersabar, menerima setiap ketentuanNya, memperbanyak upaya berbuat baik bagi makhluk lain, memaafkan kesalahan orang lain tanpa syarat apapun. Segala upaya kebaikan, pasti, dan sunnatullah, akan berujung kebaikan. Bilapun ditemui “kok malah semakin memburuk ya?”, mungkin itu memang bukan ujungnya, hanya sekedar ujian tambahan sebelum bahagia akhirnya.

Wallaahu’alam. Allaahumma rahmataka arjuu, falaa takilni ilaa nafsii tharfata’ain, wa ashlih lii sya’ni kullahu, laa ilaaha illaa Anta.

Yaa Allah sungguh rahmat-Mu kami dambakan,
maka jangan tinggalkan diriku dalam kesendirian meski hanya sekejap mata,
dan perbaikilah segala urusanku,
tiada tuhan selain-Mu

Aamiin..