Biarkan Aku Bicara Cinta

Teramat lara hati Qais, ia tidak punya daya karena kisah indah yang dia inginkan dalam hidupnya tak mampu ia tahan hingga terbentur dinding. Hatinya meraung, memecah keheningan dan sepi hatinya. Kecerdasanya hilang, ketampananya tak berarti karena benturan hati. Siapa yang tidak tahu kisah masyhur ini, syairnya hingga kini terkenang oleh semua pecinta sejati “di dunia Qais dan Laila bukanlah pasangan suami istri, tetapi di akhirat mereka menjadi pasangan abadi.” Iya, saya ingat kisah itu adalah kisah laila majnun. Cinta destruktif, cinta yang berhasil membuat Qais yang cerdas menjadi majnun (bodoh). Itu sebabnya kisah ini masyhur dengan kisah laila majnun.

Berbeda cerita dengan Ali dan Fatimah, menantu kedua Rasulullah ini memiliki kisah tersendiri di hati para pecinta. Dipendamnya rindu yang menggelisahkan dari Ali kepada Fatimah dengan baik-baik di dalam palung hatinya, teramat dalam hingga hanya ketika mereka dipersatukan oleh Allah, Ali membuka dan menaikkan rasanya kepermukaan. Dalam cerita Ayat-ayat Cinta, Maria pernah mengungkapkan “memang memendam rasa cinta sangat menyiksa, tetapi mengasyikkan.” Kedua kisah ini teramat indah, bahkan untuk diceritakan berkali-kali. Tetapi ada satu tabir yang menarik, yang menjadi alasan kenapa disini kuceritakan.

Mencintai berarti siap memberi, memberi semua yang terbaik, memberi semua yang indah, bahkan hingga harus meregang nyawa. Hilangkan semua rasa, kalau cinta harus memiliki.

Telah dipelajari, dan dimaknai bahwa cinta berasal dari ide untuk memberi rasa aman, membahagiakan dan mengembangkan potensi orang lain. Kemudian ide tersebut kita ekstraksi menjadi kemauan untuk menebar kebaikan, menebar cinta pada dunia. Kemudian cinta akan memberikan kita kemampuan untuk menangkap gejolak ketakwaan agar ia menjadi nyata, muncul ke permukaan, termanifestasikan dengan amal.

Itulah cinta, ia meningkatkan produktifitas. Ada benarnya, gelora cinta yang hanya sampai pada ide dan penyampaian ide menjadi sebaran kebaikan; bagaikan pohon teduh yang tidak berbuah.

Kesimpulanya sederhana, cinta haruslah berbuah pada produktifitas, cinta harus berbuah pada amal, kinerja yang tidak mengenal batas. Kuncinya ada pada gejolak ketakwaan yang muncul pada diri kita. Kalau kisah cinta kita hanya sebatas pada pembentukan ide dan penyebaran kebaikan maka hilanglah produktifitas yang saya maksud, ketika cinta tidak berbuah gejolak ketakwaan. Karena pengejewantahan cinta harus pada meningkatnya produktivitas.

Betapa banyak, kisah pemuda yang sedang sering ingat pada orang yang dicintainya hanya sebatas pada ide untuk membahagiakan, memberi rasa aman, kemudian direalisasikan dengan ekstraksi ide yang menjembatani ide tersebut ke alam nyata. Mungkin banyak diantara mereka yang berhasil memberi rasa aman, kebahagiaan, dan segala yang baik bagi yang dicintainya. Tetapi semua kosong, hanya sebuah pohon rindang yang tidak berbuah. Hanya seperti rumah megah tanpa penghuni.

Kesemuanya harus disertai dengan gejolak ketakwaan yang muncul pada setiap pecinta sejati. Gejolak kehati-hatian dan senantiasa menempatkan relung memorinya pada kondisi siap sedia, kekhawatiran jika Rabb –Tuhan Seru Sekalian Alam- tidak menyertai langkah cintanya.

Oleh karena itu, tidak seharusnya cinta merusak hubungan. Merusak hubungan kita sesama manusia, sesama kawan, dengan sahabat, dengan mantan “pacar”, dengan rekan-rekan seperjuangan, dengan mentor kita, apalagi dengan Allah Azza Wa Jalla. Karena kesetiaan cinta hanya untuk Allah Azza Wa Jalla. Cinta pada Allah menempati urutan pertama diantara yang lainya.

Biarkan aku bicara cinta,
Tak terdefinisi, seperti angin yang tak berwujud namun dapat dirasa,
Ia dapat memuliakan dan dapat juga menghinakan,
Cinta adalah mozaik tentang kesetiaan,
Pertemuan rindu diantara sunyi senyap alam dan riuh gemericik dunia,

Biarkan aku bicara cinta,
Tak dapat dilenyapkan diantara jejak kehidupan,
Ia harus dipertahankan,
Karena dengan cinta kita dapat mempelajari segalanya,
Resah dan gelisah yang mampu mengalirkan cinta,
Membuatnya terkelola, agar kita tetap bijaksana,

Biarkan aku bicara cinta,
Kekuatanya gegap gempita,
Mengangkat kita pada titik yang menggelora,
Nafasnya menggebu-gebu,
Yang berbeda pada mukmin adalah,
Cinta mereka setia pada jalurnya,
Cinta mereka tidak merusak indahnya cinta,
Cinta mereka teramat menyala-nyala,
Cinta mereka teramat memesona,
Seperti Rasulullah menduniakan ajaran islam.

Kututup cerita ini dengan tragedi cinta Sayyid Quthb.

Siapa yang tidak mengenal kearifan dan kekuatanya menggerakkan orang-orang beriman. Tulisanya, tidak hanya menggerakkan pena menjadi kata, terangkai menjadi paragraf yang bersahutan, menjadi karya sastra besar pada zamanya. Akan tetapi Menggertak pemuda agar siap membela, bahkan siap meregang nyawa. Pertarungan idealisme dengan realitas mengantarkan ia pada tragedi cinta. Beberapa kali ia melamar gadis, tetapi Allah tidak sediakan untuknya pendamping di dunia, sesekali ia pupus karena didahului lelaki lain, sesekali ia tertolak karena pergulatan dengan realita. Hancurlah hatinya, pupuslah cintanya. Bahkan, Buya Hamka menggambarkan berbulan-bulan Sayyid Quthb dirundung sepi yang menyelimuti perasaanya. Tetapi, kita semua tahu. Cintanya pada Pemilik Cinta, memberikan bukti nyata bahwa Allah diatas segalanya. Wafatnya di tiang gantungan memberi bukti bahwa ia pecinta sejati, dengan cinta ia membuat karya fenomenal “fi zhilalil quran” dari dalam penjara. Bahkan senyumnya pada algojo yang mengeksekusi hukuman padanya dikabarkan menjadi pendukung gerakan Iislam, dan menjadi garda terdepan. Buku “Ma’alim fi thariq” karangan Sayyid Quthb membuat resah imperialisme Inggris dan sindikasi Zionis. Memang itulah cinta, pohon cinta selalu berbuah produktivitas. Saya yakin, insya Allah Sayyid Quthb akan menemukan cinta sejatinya kelak di surga. Itulah taman-taman para pecinta sejati.

Ya Rabb pagi ini kami panjatkan dalam kidung doa kami, enggankanlah kami dari jalan orang-orang bodoh dan tertipu, yang berkebaikan dalam perangkap syaithan. Amin.

Oleh: Fadli Rahman, Jakarta
FacebookTwitter