Benarkah Yahudi Adalah Umat Yang Unggul?

يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُواْ نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ

“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat.” (QS Al Baqarah: 47)

Beberapa pelajaran dari ayat di atas:

Pelajaran Pertama:

Pada ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan untuk kesekian kalinya kepada Bani Israil, terutama yang hidup pada zaman nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam begitu juga kepada generasi sesudahnya, akan nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada nenek moyang mereka. Hal itu karena nikmat nenek moyang merupakan nikmat anak keturunan mereka juga[1], kejayaan nenek moyang merupakan kejayaan anak keturunan mereka juga. Kemudian timbul suatu pertanyaan: kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala secara terus menerus mengingatkan Bani Israel akan nikmat-nikmatNya yang diberikan kepada mereka? Padahal pada ayat-ayat sebelumnya Allah juga telah mengingatkan hal itu?

Jawabannya adalah:

  1. Nikmat yang diingatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Bani Israel pada ayat-ayat sebelumnya adalah nikmat yang masih umum, maka perlu diingatkan kepada mereka akan nikmat yang lebih terperinci lagi.
  2. Semakin banyak seseorang atau sekelompok orang mengingat nikmat Allah, semakin pula mendorong mereka untuk segera melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi segala larangan-Nya[2], karena seseorang yang masih mempunyai hati bersih tentunya akan berusaha membalas jasa-jasa, paling tidak berterima kasih kepada siapa saja yang pernah berbuat baik kepadanya. Tentunya balasan terima kasih itu akan besar dan luar biasa manakala yang dibalas dan disyukuri itu adalah Dzat Yang menciptakannya, menghidupkannya, merawatnya, memberikan rizki kepadanya, melindunginya dari segala marabahaya, memberikannya anak, jabatan, kesehatan dan yang paling penting: memberikan kepadanya hidayah dan taufik sehingga menjadi orang Islam yang patuh terhadap perintah-perintah-Nya.
  3. Nikmat ini terus saja diulang-ulang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala agar mereka terpacu dan terdorong untuk segera beriman kepada nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan beriman kepada apa yang dibawanya, yaitu Al Qur’an.[3]
  4. Nikmat ini diulang-ulang agar mereka senantiasa mengingatnya dan diharapkan bisa mensyukurinya, dan tidak dengki dan iri kepada nikmat yang diberikan kepada bangsa Arab dengan diutusnya nabi akhir zaman bukan dari mereka.[4] Point ini sangat penting untuk diungkap, karena banyak dari kita yang terus menerus merasa iri, bahkan tidak sedikit yang dengki dengan nikmat yang didapatkan oleh saudaranya atau tetangganya, atau teman kerjanya. Padahal, kalau dia mau melihat dan merenungi nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya, seperti kesehatan, kecukupan dalam harta, istri yang sholehah, anak yang sehat dan sempurna, tentunya dia tidak akan merasa iri apalagi dengki dengan nikmat yang didapat oleh saudaranya. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah disebutkan bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‏ ‏ ‏ ‏ ‏إذا نظر أحدكم إلى من فضل عليه في المال والخلق فلينظر إلى من هو أسفل منه (رواه البخاري) ، وزاد مسلم: فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم

”Jika salah satu dari kamu melihat orang lain yang mempunyai kelebihan harta dan fisik, maka hendaknya dia segera melihat orang yang lebih rendah dari dirinya (dalam harta dan fisik)” (HR Bukhari). Dalam riwayat Muslim ada tambahannya: ” Karena hal itu akan lebih bisa membuat kamu untuk tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan kepadamu.”

Dalam riwayat Abdullah bin Syuhair disebutkan bahwa Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أقلوا الدخول على الأغنياء فإنه أحرى أن لا تزدروا نعمة الله

”Sedikitlah kamu bergaul dengan orang-orang kaya, karena hal itu bisa lebih memudahkan untuk tidak meremehkan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.”(HR Hakim)

Hadits di atas bukan berarti melarang orang muslim untuk bergaul dengan orang kaya sama sekali, akan tetapi larangan tersebut ditujukan kepada orang yang mudah terpengaruh dan silau dengan apa yang dilihatnya, karena kalau keadaannya demikian, tentu saja dia akan terus berangan-angan untuk memiliki sesuatu yang dimiliki orang kaya tersebut. Orang yang imannya-pun diharapkan untuk tidak banyak bergaul dengan orang-orang kaya kecuali sebatas keperluan, karena bagaimanapun kuatnya iman seseorang suatu ketika bisa saja terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya. Oleh karenanya, untuk menepis penyakit iri dan dengki tersebut Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berpesan setiap muslim untuk selalu melihat orang-orang dibawahnya yang keadaannya lebih jelek dari dirinya. Selain itu dianjurkan untuk menjenguk orang sakit, korban kecelakaan dan melayat orang mati, karena itu semua akan membawanya untuk lebih bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .

5. Jika seseorang semakin sering mengingat nikmat yang diberikan kepadanya niscaya akan membuatnya untuk mencintai Sang Pemberi nikmat[5], sebagaimana yang ditulis oleh Mansyur Al Waraq dalam salah satu syi’irnya:

تعصي الإله وأنت تُظهر حبَّه … هذا لَعمري في القياس بديعُ

لو كان حُبّك صادقاً لأطعته … إن المحِب لمن يُحب مُطيع

Engkau selalu bermaksiat kepada Allah, tetapi tetap saja engkau berpura-pura mencintai-Nya
Perbuatan seperti ini sungguh tidak sesuai dengan qiyas.
Seandainya cintamu benar, pasti engkau akan mentaati-Nya …
Karena sesungguhnya orang yang cinta itu pasti mentaati sesuatu yang dicintainya ..

Pelajaran Kedua:

Salah satu nikmat agung yang diberikan kepada Bani Israel adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka umat yang mempunyai derajat yang tinggi di atas umat-umat yang lainnya. Tetapi perlu diketahui bahwa nikmat ini hanya diberikan kepada nenek moyang mereka, yaitu para pengikut nabi Musa as yang masih taat dengan perintah Allah dan perintah nabi Musa as, begitu juga para pengikut nabi-nabi Bani Iarael sesudah nabi Musa as. sebagaimana yang disebutkan Allah sendiri dalam salah satu firman-Nya:

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُواْ نِعْمَةَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنبِيَاء وَجَعَلَكُم مُّلُوكًا وَآتَاكُم مَّا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِّن الْعَالَمِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain.” (QS Al Maidah: 20)

Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَلَقَدِ اخْتَرْنَاهُمْ عَلَى عِلْمٍ عَلَى الْعَالَمِينَ

D”an sesungguhnya telah Kami pilih mereka (Bani Israel) dengan pengetahuan (Kami) atas umat-umat lain.” (QS Ad Dukhan: 32)

Dari situ, bisa kita ketahui bahwa letak kemuliaan dan keunggulan Bani Israel atas umat-umat yang lainnya, karena mereka mempunyai nabi-nabi dan berpegang teguh kepada ajaran-ajaran para nabi tersebut. Dan ketika mereka tidak taat lagi dengan para nabi, maka keutamaan dan keunggulan tersebut dengan sendirinya telah hilang dari diri mereka, termasuk dari diri Bani Israel yang hidup pada zaman nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kenapa begitu? karena para nabi Bani Israel seperti Musa dan Isa telah memberitahukan kepada umatnya sebagaimana yang tercantum dalam kitab Taurat dan Injil bahwa akan datang nabi akhir zaman yang berasal dari bangsa Arab sebagai penerus dan penutup para nabi yang berasal dari Bani Israel, maka hendaknya seluruh Bani Israel yang menemui nabi tersebut untuk beriman kepada-nya. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al A’raf: 187)

Dalam surat As Shaff disebutkan juga:

وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُم مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِن بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءهُم بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ

“Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata. (QS As Shaff: 6)

Bahkan dalam Injil Barnabas disebutkan:

“Maka Allah menutup hijabnya dan diusir keduanya oleh Mikail dari surga Firdaus . Kemudian Adam menengok dan melihat di atas pintu ada tertulis ‘Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah’ (41:29-30).

Dalam Injil Lukas tertulis:

Puji Tuhan (Allah) di tempat yang tinggi dan di bumi keselamatan (Islam) dan bagi manusia ‘Ahmad’.” (2:14)

Pelajaran Ketiga:

Adapun pada zaman diutusnya nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan diturunkannya Al Qur’an, maka umat yang paling mulia dan utama adalah umat Islam, umat pengikut nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali Imran: 110)

Dan dalam suatu hadits yang diriwayatkan Mu’awiyah bin Haedah al Qusyairi disebutkan bahwa Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أنتم تُوفُونَ سبعين أمة، أنتم خيرها وأكرمها على الله

”Kalian mewakili tujuh puluh umat, kalian adalah umat yang terbaik dan yang termulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. ” (Hadits Hasan Riwayat Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Hakim)

Dari situ, bisa disimpulkan bahwa umat yang termulia sebelum diutusnya nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah umat Bani Israel yang berpegang teguh dengan ajaran-ajaran para nabi yang diutus Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun setelah datangnya nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjadi pelengkap dan penutup para nabi, maka umat yang paling mulia adalah umat Islam, karena hanya merekalah yang percaya dan beriman kepada nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, sedang umat-umat yang lain, termasuk di dalamnya umat Bani Israel akan menjadi umat yang akan dilaknat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dijauhkan dari rahmat-Nya selama mereka tidak mau beriman kepada nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Pelajaran Keempat:

Keutamaan yang diberikan Allah kepada Bani Israel adalah keutamaan umat atas umat[6], karena mereka waktu itu berpegang teguh dengan ajaran Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi, keutamaan disini tidak mencakup keutamaan perorangan di atas perorangan, artinya tidak setiap orang yang berasal dari Bani Israel pasti lebih utama dan lebih baik dari pada orang yang berasal dari umat Persia, atau Arab atau India atau yang lainnya yang hidup satu zaman dengan Bani Israel waktu itu. Karena barangkali banyak orang yang berasal dari umat-umat tersebut lebih baik dari sebagian orang yang berasal dari Bani Israel. Begitu juga, bukan berarti para nabi Bani Israel pasti lebih utama daripada nabi-nabi yang berasal dari umat lain yang hidup satu zaman dengan Bani Israel waktu itu. Dan bukan berarti pula bahwa umat Bani Israel lebih utama dan lebih unggul bila dibandingkan dari Para Malaikat, karena yang dimaksud ayat di atas adalah keutamaan jenis manusia atas jenis manusia yang lain.[7]

Pelajaran Kelima:

Kelebihan yang diberikan Allah kepada bangsa Yahudi yang terdapat pada ayat di atas ternyata disalah gunakan oleh orang-orang Yahudi radikal yang membuat gerakan Zionisme. Gerakan ini bersembunyi dibalik ayat tersebut untuk mengesahkan tindakan kekerasan dan biadab atas bangsa-bangsa lain. Selain itu, mereka juga menganggap setiap orang Yahudi yang lahir pasti lebih unggul dari bangsa lain. Mereka merasa mendapatkan dukungan dari apa yang tertera dalam Perjanjian Lama, diantaranya adalah:

“Engkau akan diberkati lebih daripada segala bangsa” (Ulangan 7:14).

Yang lebih ironisnya lagi, bahwa sifat keunggulan yang mereka yakini ini seolah-olah merupakan suatu perintah untuk melakukan kekejaman atas bangsa lain. Mereka berdalil dengan apa yang terdapat dalam Perjanjian Lama:

”Engkau harus melenyapkan segala bangsa yang diserahkan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu: janganlah engkau merasa sayang kepada mereka….” (Ulangan 7:16).

Selain itu untuk melegalkan perbuatan tersebut, tidak segan-segan mereka merubah isi taurat agar sesuai dengan tujuan dan kemauan mereka. Padahal Taurat mereka sendiri menyuruh mereka untuk berbuat damai, mencintai, mengasihi, dan berperilaku baik. Diantaranya adalah apa yang terdapat dalam Perjanjian Lama:

“Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan; janganlah engkau membela orang kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran. Janganlah engkau pergi kian ke mari menyebarkan fitnah di antara orang-orang sebangsamu; janganlah engkau mengancam hidup sesamamu manusia; Akulah Tuhan. Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegur orang sesamamu dan janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu karena dia.” (Perjanjian Lama, Imamat, 19:15-17)

Pada tempat lain disebutkan juga:

“Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Perjanjian Lama, Mikha, 6:8)

Pada tempat lain disebutkan juga:

“Jangan membunuh. Jangan berzinah. Jangan mencuri. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Jangan mengingini rumah sesamamu … (Perjanjian Lama, Keluaran, 20:13-17)

Bahkan untuk membenarkan tindakan mereka merampas tanah Palestina dan membantai para penduduknya, orang-orang Yahudi tidak segan-segan berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur’an:

يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الأَرْضَ المُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَلاَ تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنقَلِبُوا خَاسِرِينَ

“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.” (QS Al Maidah: 21)

Padahal dalam ayat itu tidak ada satu katapun yang menyuruh orang-orang Yahudi untuk merampas dan membunuh orang-orang Palestina. Bahkan menurut orang-orang Yahudi sendiri (khususnya yang bukan angota Zionis) bahwa kaum Yahudi telah dikeluarkan dari bumi Palestina hanyalah akibat dosa-dosa mereka. Menurut kelompok ini, mereka juga tetap menginginkan kembali ke Palestina, tanah yang dijanjikan kepada mereka, akan tetapi dengan cara damai dan menurut kehendak Allah, bukan kehendak mereka. Sehingga mereka sendiri justru malah menentang gerakan zionis (sekarang Negara Israel) yang membantai orang-orang Palestina dan merampas hak-hak mereka.

Begitulah sifat orang-orang Yahudi yang jahat, mereka pandai memutarbalikkan fakta dan mencampur adukkan antara kebenaran dan kebathhilan, sebagaimana pada ayat sebelumnya Allah berfirman:

وَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Janganlah kamu campur-adukkan antara kebenaran dan kebath ilan, dan kamu sembunyikan yang benar padahal kamu mengetahuinya. “(QS Al  Baqarah: 42)

Mudah-mudahan kita dijauhi dari sifat-sifat tersebut. Amin.

Kairo, 18 Januari 2008



[1] Thabary, Juz I, hlm: 23-24
[2] Ibnu Asyur, Tahrir wa Tanwir, Juz I, hlm: 279
[3] Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an Al Adhim, , Juz I, hlm: 405 .
[4] Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an Al Adhim, , Juz I, hlm: 405 .
[5] Ibnu Asyur, Tahrir wa Tanwir, Juz I, hlm: 279
[6] Ibnu Asyur, Tahrir wa Tanwir, Juz I, hlm: 279
[7] Al Alusy, Ruhul Ma’any, Juz I, hlm: 302