Belajar dengan Rasa Cinta

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة

“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mempermudah baginya jalan menuju surga” (H.R Muslim)

Alkisah, pada zaman Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri, ada seorang santri dari Indonesia yang menuntut ilmu di Pondok pesantren terbesar di Hadhramaut-Yaman yaitu Rubath Tarim. Setelah di sana 4 tahun, santri itu minta pulang. Dia pamit minta izin pulang kepada Habib Abdullah.“Habib, saya mau pulang saja.”

“Lho, kenapa?” tanya beliau.

Santri itu mengutarakan alasannya, “Bebal otak saya ini. Untuk menghafalkan setengah mati, tidak pantas saya menuntut ilmu, saya minta izin mau pulang.”

Habib Abdullah berkata “Jangan dulu, sabar.”

“Sudah Bib, saya sudah empat tahun bersabar, sudah tidak kuat, lebih baik saya menikah saja.”

Lalu beliau berkata, “Sebentar, saya mau mengetes dulu bagaimana kemampuanmu menuntut ilmu.”

Santri itu menjawab “Sudah bib, saya menghafalkannya setengah mati, tidak hafal-hafal.”

Habib Abdullah kemudian masuk ke kamar, mengambil surat-surat untuk santri itu. Pada masa itu surat-surat dari Indonesia ketika sampai di Tarim tidak langsung diberikan. Surat tersebut tidak akan diberikan kecuali setelah santri itu menuntut ilmu selama 15 tahun. Kemudian Habib Abdullah menyerahkan seluruh surat itu kepadanya, kecuali satu surat.

Setelah diterima, dibacalah surat-surat itu sampai selesai. Satu surat yang tersisa kemudian diserahkan.

“Ini surat siapa?” tanya Habib.

“Owh, itu surat ibu saya.”

“Bacalah!”

Santri itu menerima surat dengan perasaan senang, kemudian dibacanya sampai selesai. Saat membaca, kadang dia tersenyum sendiri, sesekali diam merenung, dan sesekali dia sedih.

“Sudah kamu baca?” tanya beliau lagi.

“Sudah ya habib.”

“Berapa kali?” tanya beliau.

“Satu kali ya habib.”

“Tutup surat itu! Apa kata ibumu?”

Santri tadi menjawab,“Ibu saya berkata saya disuruh mencari ilmu yang bener, bapak sudah membeli mobil baru. Adik saya sudah diterima bekerja di sini, dan lain-lain.”

Isi surat yang panjang itu dia berhasil menceritakannya dengan lancar dan lengkap. Tidak ada yang terlewatkan.

“Baca satu kali kok hafal? Katanya bebal nggak hafal-hafal, sekarang sekali baca kok langsung hafal dan bisa menyampaikan?” kata Habib dengan pandangan serius.

Santri itu bingung tidak bisa menjawab. Dia menganggap selama ini dirinya adalah seorang yang bodoh dan tidak punya harapan. Sudah berusaha sekuat tenaga mempelajari ilmu agama, dia merasa gagal. Tetapi membaca surat ibunya satu kali saja, dia langsung paham dan hafal.

Habib Abdullah akhirnya menjelaskan kenapa semua ini bisa terjadi. Beliau mengatakan:

ﻷﻧﻚ ﻗﺮﺃﺕ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﺃﻣﻚ ﺑﺎﻟﻔﺮﺡ ﻓﻠﻮ ﻗﺮﺃﺕ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﻧﺒﻴﻚ ﺑﺎﻟﻔﺮﺡ ﻟﺤﻔﻈﺖ ﺑﺎﻟﺴﺮﻋﺔ

“Sebab ketika engkau membaca surat dari ibumu itu dengan perasaan gembira. Ini ibumu, coba jika engkau membaca syariat Nabi Muhammad  dengan bahagia dan bangga, ini adalah Nabiku, niscaya engkau sekali baca pasti langsung hafal. ”

Banyak saudara-saudara kita (atau malah kita sendiri) yang tanpa sadar mengalami apa yang dirasakan santri dalam kisah diatas. Jawabannya adalah rasa cinta. Kita tidak menyertakan perasaan itu saat membaca dan mempelajari sesuatu, sehingga kita merasa diri ini bodoh dan tidak punya harapan sukses.

Banyak orang merasa “bodoh” dalam menguasai beberapa pelajaran, tetapi puluhan lagu-lagu cinta hafal di luar kepala. Padahal tidak mengatur waktu khusus untuk menghapalkannya. Semoga kisah yang saya tulis ini bisa menjadi inspirasi bagi kita semua.