Bank Syariah yang Paling Syariah?

Penilaian kesyariahan Bank Syariah di Indonesia salah satunya dapat diukur dari Laporan Tahunan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Analisis Laporan Tahunan ini, dibuat oleh Irawan Febianto, Dosen Manajemen dan Keuangan Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran. Pada 16 Desember 2011 yang lalu, dalam Forum Riset Perbankan Syariah (FRPS) ke IV yang diselenggarakan di Bandung, analisa ini disampaikan dalam satu sesi bersamaan dengan pembahasan makalah-makalah para Finalis Terbaik yang terpilih dalam ajang riset ekonomi islam bergengsi ini.

Sebagai pendahuluan, Irawan memaparkan poin-poin yang mesti dipahami terkait konten yang menjadi titik evaluasi DPS. DPS merupakan salah satu pembeda antara Bank Islam dan Bank Konvensional, dimana fungsi utamanya adalah mengawasi kegiatan operasional telah memenuhi shariah compliance (kesesuaian dengan aturan syariah) sebagai justifikasi penting dalam perbankan dan keuangan syariah. Beberapa organisasi keuangan islam, seperti Accounting Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) dan Islamic Financial Services Board (IFSB) telah menetapkan standar untuk tata kelola institusi keuangan islam, salah satunya adalah Bank Syariah. Karena shariah compliance adalah sebuah fitur yang unik, teknik manajemen risiko konvensioanl mungkin tidak cukup untuk mengurangi risiko terkait syariah. Maka IFSB secara khusus menindak risiko ini dan menyediakan pedoman untuk mitigasinya.

Dalam praktek perbankan Islam saat ini, cara yang paling formal untuk memberikan informasi kepada para penggunanya mengenai shariah compliance adalah melalui laporan syariah yang merupakan komponen dari laporan tahunan (annual report). Abdel Karim (1990) menyatakan bahwa laopran syariah dapat dibenarkan atas dasar bahwa laporan tersebut : meyakinkan pembaca bahwa laporan keuangan bank telah sesuai dengan syariat islam. Dan juga menyatakan apakah auditor DPS memiliki akses ke semua dokumen dan catatan yang mereka anggap dibutuhkan dalam melaksanakan tugas mereka. Laporan seperti itu dimaksudkan untuk memberikan kredibilitas atas informasi dalam laporan keuangan dari perspektif agama.

Jaminan seperti itu adalah untuk meningkatkan dan memperkuat kepercayaan para pemangku keperntingan dalam operasional bank islam. Perlu diperhatikan bahwa dalam konteks ini, para pemangku kepentingan cukup besar dan terdiri dari semua orang dengan kepentingan dalam terwujudnya kesejahteraan bank islam seperti karyawan, pelanggan, pemasok, pengawas, dan kaum muslimin secara keseluruhan.

Beberapa standar dan pedoman telah dibuat secara lokal maupun global. Dalam pembahasan laporan analisis ini, Irawan menggunakan standar dari AAOIFI yang dinilai lebih rinci dibanding standar yang dibuat oleh yang lain, seperti DSN-MUI. Walaupun begitu, Irawan menganggap standar ini masih kurang dalam beberapa aspek. Dalam standarnya untuk Dewan Pengawas Syariah tersebut, AAOIFI menguraikan unsur-unsur dasar yang harus tercantum dalam Laporan Syariah, yaitu :

  1. Judul
  2. Penerima
  3. Pembukaan atau Pengantar
  4. Paragraph singkat yang menjelaskan sifat dari pelaksanaan kerja
  5. Paragraph opini yang mengandung ungkapan pendapat atas kepatuhan lembaga keuangan islam atas aturan dan prinsip syariat islam
  6. Tanggal laporan, dan
  7. Tanda tangan anggota dewan pengawas syariah beserta tanggal.

Sampel dari riset untuk menganalisis laporan ini diambil dari 10 laporan tahunan dari bank-bank yang berbeda di Indonesia. Kesepuluh bank tersebut adalah Bank Muamalat Indonesia, bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, BRI Syariah, BCA Syariah, BNI Syariah, BJB Syariah, Bank Syariah Bukopin, Panin Bank Syariah dan Bank Victori Syariah. Laporan yang dihasilkan adalah laporan syariah tahun 2010.

Dalam makalah, Irawan membuat tabel perbandingan yang merinci poin-poin yang memenuhi standar atau tidak terhadap tiap bank. Kemudian, berdasarkan kelengkapannya, dikonversi dalam presentase kelengkapan standar. Hasilnya adalah sebagai berikut :

  1. Bank Muamalat Indonesia = 45,45 %
  2. bank Syariah Mandiri = 81,82 %
  3. Bank Mega Syariah = 45,45 %
  4. BRI Syariah = 72,73 %
  5. BCA Syariah = 36,36 %
  6. BNI Syariah = 36,36 %
  7. BJB Syariah = 45,45 %
  8. Bank Syariah Bukopin = 54,55%
  9. Panin Bank Syariah = 54,55 %
  10. Bank Victori Syariah = 72,73 %

Dari hasil ini, terlihat hanya BSM yang berusah untuk mengikuti pedoman AAOIFI, walaupun tingkat kesesuaiannya masih 81, 82% dan belum mencapai 100%.

Dalam contoh laporan AAOIFI, ada empat hal yang harus dipertimbangkan dalam bagian pendapat :

  1. Kontrak, transaksi, dan kesepakatan yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Islam
  2. Alokasi keuntungan dan pembayaran kerugian yang berhubungan dengan rekening investasi
  3. Pendapat yang telah dihasilkan dari sumber atau cara yang dilarang oleh aturan dan prinsip-prinsip syariat islam
  4. Perhitungan zakat.

Sedangkan dalam laporannya, DPS Bank Syariah cenderung sangat singkat dengan pernyatan umum, seperti : “Kami,…., dengan ini menkonfirmasi atas nama Komite, yang menurut pendapat kami, operasii Bank untuk tahun yang berakhir … telah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah”

Jelas bahwa laporan semacam ini tidak dapat membantu para pemangku kepentingan bank-bank syariah untuk menilai bagaimana pemenuhan aturan-aturan syariah dalam pelaksanaan operasionalnya. Meskipun ada keyakinan bahwa anggota DPS sudah membuhi kualifikasi untuk menilai kesyariahannya, agar lebih meyakinkan, sebaiknya pendapat-pendapat mereka lebih dirinci agar dapat menjadi pembelajaran bersama.

Bahkan Nabi Ibrahim meminta kepada Allah untuk menunjukkan kepadanya bagaimana Allah bisa menghidupkan kembali makhluk yang telah mati, meskipun ia adalah mukmin sejati. Kisah ini diceritakan dalam gaya bahasa yang kuat dalam Al Qur’an di Surat Al Baqarah ayat 260.

Di bagian kesimpulan, Irawan mencoba memberikan saran berupa model laporan syariah yang ia anggap lebih konsisten dengan tanggung jawab DPS dan bis merupakan suatu instrument yang baik untuk mengurangi risiko shariah non-compliance.