Ayako, Hidup Itu Harus Diperjuangkan..

Hidup itu harus diperjuangkan..

Mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan kehidupannya. Dia, sebut saja Ayako, dilahirkan dalam keluarga berada sebagai anak pertama. Sebagai anak seorang pejabat pada jamannya, bisa dikatakan apa pun bisa didapatkan pada masa kecilnya. Namun semua berubah 180 derajat saat munculnya berbagai macam fitnah pada orang tuanya, begitu katanya. Dari kehidupan yang serba ada berubah menjadi apa yang ada saja. Begitulah kehidupan, kadang di atas dan kadang di bawah. Tidak banyak yang tahu tentang kehidupan masa lalunya. Bahkan teman-teman satu sekolahnya pun belum tentu mengetahui latar belakang kehidupan masa kecilnya ini.

Dia seorang yang pandai dan cerdas. Saat masuk ke sekolah idamannya, menduduki rangking pertama. Masuk sekolah idaman dengan nilai NEM (Nilai Ebtanas Murni, sekarang disebut dengan nilai UAN), tentu prestasi yang luar biasa dan menjadi pembicaraan guru-guru. Dia pun sama. Hanya sayangnya nilai itu tidak bisa dia pertahankan pada saat kelas 1, sehingga di kelas pun terseok-seok mengikuti pelajaran. Dari kejadian ini ini latar belakang kehidupannya sedikit demi sedikit mulai terkuak.

Tidak ada yang mengetahui bahwa sejak SMA kelas 1 itu kehidupannya berubah menjadi seperti upik abu dalam cerita rakyat. Sejak difitnah, bapaknya seperti orang linglung. Tidak bisa berdiskusi dengan baik bahkan untuk hal yang sepele. Sepanjang  hari hanya bengong saja. Tugas-tugas menjadi tidak bisa diselesaikan dengan baik dan akhirnya sang bapak keluar dari pekerjaannya. Namun ini pun tidak menyelesaikan masalah, karena sang bapak entah karena apa tidak bisa (mau) bekerja. Akhirnya selama beberapa waktu hanya hidup dari tabungan yang didapatkan saat bekerja dulu. Ini berlangsung cukup lama, sehingga hartanya habis sama sekali. Rumah nya pun akhirnya dijual dan pindah ke daerah lain yang lebih murah dan amat sangat sederhana, berdinding gedek dan berlantai tanah di atas lahan yang tidak seberapa luas. Dengan kondisi seperti itu akhirnya sang ibu membantu mencari nafkah sebagai pelayan di es teler 77 yang saat itu baru saja buka di bilangan Jakarta Timur.

Hidup di Jakarta memang kejam. Sangat berat dengan penghasilan yang tak seberapa untuk 8 orang. Entah darimana mulanya, akhirnya keluarga itu hidup tercerai berai. Bapak dan ibunya dengan terpaksa menitipkan anaknya kepada saudara-saudarinya. Ada yang tinggal di Karawang, Ada yang tinggal di Bekasi, ada yang di Jakarta. Bagaimana dengan si Ayako Kecil ini? Dia akhirnya dititpkan di adik bapaknya, di daerah Klender Jakarta Timur.

Berbeda dengan kehidupan adik-adiknya yang lain, walaupun dititipkan, adik-adiknya mendapat perlakuan yang baik. Berbeda dengan si Cinta Kecil ini. Dia hidup seperti bawang putih yang menjadi pembantu bagi saudaranya itu. Sejak subuh sudah harus membereskan rumah, melakukan ini itu layaknya kehidupan di pagi hari. Berangkat ke sekolah dalam kondisi tidak sempat sarapan, dan terburu-buru. Mungkin masih lumayan jika di sekolah dia bisa membeli sesuatu untuk mengganjal perutnya. Itu pun tak bisa dia lakukan karena tidak mendapatkan uang kecuali untuk ongkos saja. Saat istirahat, ketika teman-teman yang lain sedang main-main atau jajan membeli makanan, dia hanya bisa tidur sambil menahan lapar. Bisa dikatakan sejak pindah ke rumah itu, dia kurang tidur. Sesampainya di rumah tantenya itu, dia mengajarkan pelajaran bagi anak-anak tantenya yang masih kecil-kecil. Selesai itu, dia masih harus mencuci baju dan menyeterika pakaian keluarga itu, atau menyelesaikan pekerjaan lainnya. Tak sempat baginya untuk menyentuh buku pelajarannya sendiri. Walaupun begitu, dia termasuk anak yang aktif di sekolah. Mulai dari kegiatan Rohis, Paskibra dan OSIS. Bahkan saat kelas 2 SMA, dia terpilih menjadi kandidat ketua OSIS walaupun akhirnya dia tidak terpilih dan akhirnya menjadi bendahara OSIS di sekolahnya. Begitulah kehidupan sehari-harinya.

Yang namanya manusia pasti punya daya tahan, dia pun sama. Dengan kondisi kurang nutrisi (jarang makan) dan full aktifitas di siang dan malam hari, akhirnya tubuhnya tidak sanggup menahannya. Beberapa kali dia pingsan saat upacara, baik saat menjadi peserta atau menjadi petugas upacara. Kalau hanya sekali dua kali tidak mengapa, namun hampir setiap ada kegiatan selalu pingsan. Ini yang membuat wakil kepala sekolah bidang kesiswaan curiga dengan kehidupannya. Ada apa dengan anak ini, mungkin itu yang ada dalam  benaknya. Bagaimana mungkin anak yang saat masuk sekolah dalam keadaan sehat, dalam waktu kurang dari setahun menjadi sedemikian lemah, ditambah dengan nilai pelajaran selama semester pertama itu yang bisa dikatakan hancur. Akhirnya sang kepala sekolah tanpa melalui guru BP langsung memanggil Ayako Kecil dan mengajak bicara layaknya anak dan bapak. Dari situ akhirnya sang wakil kepala sekolah mengetahui kehidupan yang harus dijalani Ayako Kecil setiap hari.

Sejak saat itu, Ayako Kecil menjadi anak angkat dari wakil kepala sekolah. Kebutuhan sekolahnya dipenuhi, sehingga Ayako kecil dapat kembali belajar dengan baik dan nilai-nilanya kembali naik seperti semula. Dia kembali tinggal bersama orang tuanya.

Saat SMA, lagi-lagi dia lulus dengan nilai NEM tertinggi di sekolahnya. Kemudian dia memilih masuk ke fakultas kedokteran, dan alhamdulillah dia diterima di FKUI. Kehidupan barunya pun dimulai kembali. Siapapun tahu yang namanya kuliah perlu biaya. Bukan hanya di kedokteran, namun di fakultas lain pun sama. Dia memilih kedokteran, karena prospek ke depannya bagus dan juga atas rekomendasi dari wakil kepala sekolah yang selama ini membantunya. Dengan menjadi dokter, tentu dia akan bisa merubah kondisi keluarganya. Sayangnya masalah financial kembali muncul. Saat itu, belum banyak perusahaan atau lembaga yang memberikan beasiswa. Kebetulan saat mau masuk ke fakultas kedokteran, dia dijanjian mendapatkan beasiswa dari salah satu perusahaan, Namun sayangnya beasiswa itu tidak berlanjut. Entah kenapa hanya satu atau dua semester saja. Itu pun hanya biaya kuliah. Dia pun harus kembali berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Dia tidak ingin drop out dari kuliahnya. Dalam kepalanya, dia harus bisa survive karena dia ingin memperbaiki kehidupan keluarganya yang tercerai berai. Pekerjaan apapun dia kerjakan. Mulai dari memberikan les bagi anak-anak SMA, terkadang juga menjadi penjaga buku di pameran-pameran buku yang diselenggarakan secara berkala oleh penerbit. Dari situ dia menabung. Dia memaksa untuk menabung walaupun dari sana dia harus menahan lapar. Makan satu kali sehari buatnya adalah hal yang biasa, itupun bukan dengan lauk yang mewah. Namun hanya dengan ikan asin. Karena asin, dengan nasi hangat dan ikan sedikit,  cukup untuk mengenyangkan perut dengan penuh selera. Apalagi jika dimakan dalam kondisi lapar. Begitu katanya.

Berbicara menabung, ada dua tabungan yang selalu dia lakukan. Pertama, tabungan untuk membiayai kuliah, dan yang kedua adalah menabung untuk biaya pernikahannya. Ya, dia lakukan itu dengan kesadaran karena kedua orang tuanya tidak punya biaya jika satu saat nanti ada yang melamarnya, walaupun dia tidak tahu lamaran itu kapan datangnya. Yang dia lakukan adalah berusaha bagaimana mempersiapkan dirinya untuk menerima lamaran itu, baik secara mental dan juga finansial, walaupun dia tahu tabungannya ini tidak cukup untuk biaya walimah. Tak jarang tabungannya itu dia korbankan saat  harus membayar biaya kuliah atau hal-hal urgent lainnya. Dia hanya berusaha dan berusaha. Dia hanya ingat bahwa “Allah itu mengikuti prasangka hambaNya”, dan “Sesunggunya Allah tidak akan mengubah nasib satu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada dalam diri mereka”. Dia berharap selesai kuliah kedokterannya dia bisa segera menikah.

Selepas wisuda S.Ked (belum menjadi dokter), datanglah lamaran pada dirinya. Dia sendiri pun kaget. Dia tidak menyangka akan menikah secepat itu. Dia belum menyelesaikan kuliahnya. Dia masih punya beban moral kepada wakil kepala sekolah SMA nya agar bisa mendapatkan gelar dokter dan bisa menghidupi keluarga besarnya dengan lebih layak. Waktunya untuk memberi jawaban pun tidak banyak, karena yang melamar juga tidak punya cukup waktu untuk menunggu jawabannya. Setelah berdiskusi dengan mentornya, keluarganya dan beristikharoh akhirnya dia menerima lamaran itu. Dia sendiripun tidak tahu bagaimana riwayat calon suaminya itu, yang jelas semua itu terjadi hanya dalam hitungan hari. Tiga hari sejak dirinya diberitahu oleh mentornya, dilakukanlah lamaran. Empat hari setelah lamaran, langsung diadakan walimahan. Semua selesai dalam satu pekan. Sungguh sebuah pernikahan yang sangat cepat.

Bukan hanya cepat namun pernikahan itu cukup unik dan benar-benar semua dimudahkan dalam pelaksanaannya. Bagaimana mungkin lamaran dilakukan pada hari kamis, hari senin sudah ijab kabul. Kapan pengurusan surat-surat di KUAnya? Begitulah jika Allah SWT sudah berkehendak. Tidak sempat mengurus surat-surat di KUA bukan berarti tidak bisa ijab kabul. Persiapan administrasi pernikahan hanya dilakukan pada hari Jumat. Itu pun hanya pengantar surat dari RT, RW dan kelurahan. Sisanya langsung diserahkan ke teman calon suaminya. Kebetulan temannya itu mempunya paman seorang penghulu. Melalui penghulu itulah administrasi diselesaikan. Akad nikah pun dilakukan di rumah penghulu itu pada senin sore. Kenapa Senin sore? Sekali lagi, tangan Allah SWT bermain dalam pernikahan ini. Hanya senin sore itulah waktu kosong pak penghulu. Tidak ada waktu lagi dalam pekan itu yang kosong katanya. Di satu sisi, Senin pagi Ayako masih harus ikut ujian kuliahnya. Pekan itu memang pekan ujian kuliah. Dan hanya senin sore waktu yang tidak ada ujian dalam pekan itu.

Begitulah perjalanan Ayako kecil sampai pernikahannya. Dua tahun setelah pernikahannya, dia menyelesaikan kuliah dokternya. Dia pun menyusul sang suami, karena sejak pernikahan itu, mereka terpisah oleh jarak dan waktu. Sang suami masih kuliah di negara lain. Saat ini Ayako sudah memiliki 5 orang putra putri yang keren-keren, si “Smart” Syafiq, Si “ganteng” Fadhil, si “Creative” Ayyasy, si “Penyayang” Ulya dan si “Leader” Shafa. Ya, Ayako itu adalah Tresnaningsih, istri saya, yang sempat menyelesaikan spesialis akupunkturnya saat kehamilan kelima.

Jakarta, 12 Okt 2014
Edi Sukur