Anak-anak Indonesia di Persimpangan

Sebagai pekerja rumah, saya lebih punya kesempatan untuk mengamati sekaligus bergaul dengan anak-anak tetangga – anak-anak berumur antara 5 sampai 10 tahun.

Sebagian orangtua mereka bekerja di Jakarta; pergi dini hari pulang larut malam. Anak-anak diurus oleh pembantu, atau saudara yang difungsikan sebagai pembantu. Tak sedikit yang beruntung diurus oleh ibu mereka, alias hanya bapak yang bekerja.

Perilaku anak-anak itu cukup mengkhawatirkan, terutama melihat bagaimana mereka bersikap kepada ibu mereka, yang mengurus mereka saban hari dengan segenap tenaga, susah payah. Mungkin gejala zaman digital yang serba cepat mengkondisikan mereka untuk tak kenal sabar, gampang marah, gampang ngamuk. Kalau keinginan tidak dipenuhi, teriak-teriak, bikin kegaduhan. Ini sangat berbeda dengan perilaku anak-anak zaman dulu pada umumnya.

Seorang anak umur 7 tahunan merengek kepada ibunya minta ganti mainannya yang dirusak kakaknya. Sang ibu membujuk untuk bermainan dengan mainan lain yang masih banyak. Si anak tidak mau. Dan ingin sekarang. Si ibu tidak bisa karena sedang menggendong dan menyuapi adik si anak itu yang masih bayi. “Anjing!” kata anak itu sambil membanting pintu.

Siangnya, kakak si anak tadi pulang dari sekolah. Ibunya segera menasihatinya agar jangan merusak mainan adiknya. Di si Kakak menjawab: “Apa sih lu?”

Saya sering tidak tahan untuk ikut campur. “Jangan bicara begitu kepada ibumu!” bentakku.

Jangan salah. Anak-anak itu bersekolah di sekolah-sekolah Islam Plus (entah apa maksud kata ‘plus’ di situ) dan tergolong pintar-pintar. Sering saya mendengar mereka melafalkan “al-jannatu tahtaa’aqdaamul ummahaati” (Surga itu di bawah telapak kaki ibu), atau ‘laa yasrabanna ahadukum qaa’iman (Janganlah kamu makan-minum sambil berdiri). Sorenya, mereka mengaji bersama di salah seorang ustadz tetangga kami, yang pasti mengajarkan untuk hormat kepada orangtua. Tiap hari Jum’at, seragam sekolahnya baju koko dan kopiah.

Dalam tahap pertumbuhan sedini itu sudah terjadi keterpilahan kepribadian. Keterpilhan pengetahuan dengan sikap; hafalan dengan tindakan; pikiran dengan emosi. Pendidikan atau sekolah zaman dulu sering dikritik karena terlalu menekankan hafalan. Lha, apa bedanya dengan sekolah sekarang? Dulu, hafalan dan sikap anak-anak sejalan. Mereka tahu hadits, ayat dan nasihat tentang hormat kepada orangtua, dan sikap mereka juga demikian. Anak-anak dulu diajari sopan santun, dan umumnya mereka bertata krama.

Jadi, apanya yang kurang? Persoalannya, ‘asupan’ nilai, pengetahuan yang masuk ke diri mereka dari pihak lain jauh lebih banyak dan lebih kuat. ‘Pihak lain’ itu adalah televisi. Mereka menonton sinetron yang menayangkan adegan seorang anak berbicara kepada orangtuanya dengan bahasa dan gaya kurang ajar. Penuh makian sekaligus penuh rengekan, bahasa rendahan, dan skenario di bawah standar. Asupan nilai dari sini lebih efektif karena mama mereka juga senang sinetron dan acara gossip.

Atau anak-anak itu menonton acara info-tai-men, yang presenternya membacakan si artis anu beli lemari baru seperti membaca puisi.

Apakabar teman-teman saya para guru? Kok bisa begini? Kalian mungkin sudah merasakan bahwa nilai-nilai sudah berubah. Guru tidak lagi menempati posisi sosial yang terhormat seperti masa dulu. Sekarang, wilayah otoritas guru hanya sebatas ruangan kelas. Seusai kelas, guru anak-anak adalah situs-situs internet, tempat bertanya mereka adalah mBah Google, panutan mereka adalah iklan, dan gaya serta tutur bahasa yang mereka lihat adalah para anggota DPR, pengacara, pengamat, aktivis yang saling hujat di televisi, atau Gubernur DKI yang sedang marah-marah: “Bajingan”, “tak pake otak”, “munafik”.

Ukuran kepantasan sudah berubah. Yang dulu dirasa aib, sekarang tidak lagi. Dulu, orang yang kena aib merasa mengalami kecelakaan dahsyat. Ia mundur dari pergaulan sosial.

Ingat kasus Maria Eva dengan politisi Yahya Zaini? Tahun 2006? Secuplik video singkat telah menimbulkan aib besar bagi keduanya, terutama sang politisi, yang kemudian mundur dari partainya dan kehidupan politik. Entah di mana dia sekarang.

Si nona Maria Eva masih sekali-sekala muncul dan terdengar namanya, tapi ia jauh dari hadir – bahasa pasarnya: ‘eksis’ — dalam dunia hiburan.

Tak sampai 5 tahun kemudian, timbul kasus video Ariel-Luna-Tari. Nilai aibnya sudah jauh menurun. Beberapa kalangan masyarakat mengecam. Namun sebagain lain bisa menerima – bahkan membela.

Sebagai pembawa darah Aceh, Cut Tari masih merasakan itu aib. Dan karena itu ia mundur dari dunia hiburan. Tapi Ariel makin mencuat dengan Noah-nya, dan Luna masih mengisi berbagai acara layar kaca. Nilai aib dalam kasus mereka semakin luntur. Bagi sebagian masyarakat, itu perilaku anak muda yang lumrah.

Dulu, tampil bodoh itu aib. Sekarang, masyarakat semakin bisa menerima ke’lugu’an para menteri, politisi, anggota deeper, reporter dan presenter teve, menteri sampai presiden.

Pewarta dan presenter teve berbicara dengan bahasa Indonesia kacau tak malu lagi. Bagaimana dengan korupsi? Rasa-rasanya makin menjadi gengsi.

Apakah ini berarti kita semakin menanggalkan nilai-nilai ke-Indonesiaan dan beralih ke norma dan nilai yang lebih meng-global? Yang universal? Ternyata tidak juga. ‘Kita’ pun tak tak sanggup menjunjung kejujuran dan prinsip saling menghormati, nilai yang dijunjung tinggi masyarakat dunia. Berdusta makin menjadi hal biasa. Dan ketahuan berdusta kepada umum tidak lagi terasa aib. Pemimpin dan pejabat yang ketahuan berdusta tenang-tenang saja. Senyum kiri-kanan.

Sebentar lagi, anak-anak yang saya ceritakan lagi akan mendapati para pemimpin berdusta, dan mereka baik-baik saja. Tetap dibela dengan berbagai dalih. Bila suatu masyarakat mentolerir dusta dan menjadikan para pendusta pemimpin, ini alamat bencana. Sebab satu kebohongan harus ditutup dengan kebohongan yang lain. Dan bila kebohongan yang lain itu terancam terungkap, harus ditutup dengan kebohongan yang lain lagi. Begitu terus. Sampai satu titik, lapisan-lapisan kebohongan itu tak lagi bisa menutupi kebohongan yang terus membesar. Maka hancurlah semua tatanan dan nilai dan menjadi wabah yang menulari semua aspek kehidupan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menghadapi tantangan besar dalam pembangunan manusia Indonesia. Mudah-mudahan mereka bisa. Tapi jika mereka pun suka berdusta, harapan sangatlah suram.

Mungkin sebentar lagi narkoba menjadi legal. Tapi jangan pernah menerima dusta sebagai nilai baru. Jangan pernah mentolerir anak-anak kita berdusta. Anak-anak kita harus cepat kita tarik dari persimpangan jalan. Kalau dusta jadi ‘sah’, pemimpin pendusta dianggap pembaharu, maka kehidupan masyarakat berakhir. Percayalah.