Ahok dan Waduk Ria Rio

Baru saja saya sampe dari Pedongkelan, warga yang digusur demi sebuah waduk. Pemda, melalui jejaring media mudah saja membuat stigmatisasi “preman” untuk warga.

Saya dulu tinggal di situ, benar RT 06 yang terkena gusur rata-rata tak memiliki sertifikat tanah, tapi bukan berarti mereka preman.

H. Sidup contohnya, orang yang dari zaman kakek buyutnya dari tahun 1800 an tinggal di situ, asli Betawi, sampai sekarang tak memiliki surat tanah selain verponding, surat tanah jaman Belanda. Ketika ditanya, “Ji, kenapa tak diurus suratnya?”

Jawabannya sederhana, “Dari mana duitnya? Makan sehari-hari saja kembang kempis. Apalagi kalau naikkan status ke SHM setorannya banyak banget. Termasuk setor ke PT. Pulomas untuk meminta bukti tidak bersengketa dengannya.”

Di situ yang sudah punya sertifikat SHM hanya kel. Alm. Salamun, asli Betawi yang cukup mampu karena sukses bisnis tanah, yang lain mana mampu.

Mereka yang asli Betawi sudah hidup di situ sebelum Ahok lahir sekalipun, tiba-tiba dia datang dari Belitung menggusur warga Jakarta demi sebuah waduk, bayangkan kalau mereka keluarga mereka di Belitung? Tapi saya ragu Ahok mampu membayangkan.

Penggusuran terjadi setelah perwakilan warga Sdri. Titin menemui Ahok dan dari ‘bacot’ Ahok istilah orang Betawi warga diminta tenang tak akan ada penggusuran. Setelah diumumkan dan warga menjadi tenang, tiba-tiba penggusuran dilakukan. Antar pribumi bentrok banyak korban luka, satpol PP dan warga termasuk pengacara warga.

Masalahnya, penggusuran ini terjadi tanpa ada uang ganti rugi tanah (uang kerahiman-red) yang digusur sepeser pun karena dianggap tanah negara melalui PT. Pulomas. Hey Ahok, kakek buyut orang Betawi seperti H. Sidup ini sudah ada di situ sebelum yang namanya NKRI itu ada, warga Pedongkelan bukan preman!

Masalahnya hanya masalah administratif saja, tanahnya tidak memiliki surat-surat kecuali surat jaman Belanda yang dianggap sudah kadaluarsa sama kuitansi jual beli. Pemda harusnya bijak jangan kaku atas legal-formal saja terutama PT. Pulomas yang bersengketa dengan warga.

Tapi siapa lah H. Sidup dan lainnya, beliau orangnya lembut, ahli ibadah, kalau bertemu selalu senyum tapi sekarang istrinya masih belum sadar dari pingsannya. Bagaimana tidak tragis, mereka yang sudah dari kakek buyut tinggal di situ terusir dari tanah kelahirannya sendiri. Hanya karena tak sanggup mengurus sertifikat, terbentur biaya. Tergusur oleh negara yang tiba-tiba dipimpin oleh orang entah nenek moyangnya dari mana datang dari Belitung sana tiba-tiba seperti yang sudah punya Jakarta.

Malam ini, ya malam ini, perwakilan warga menemui saudaramu di Kalimalang, semoga kau masih punya nurani Ahok. Walau saya tak berharap banyak.

Ustadz Rudi Wahyudi, S.P.I.