Ahlus Sunnah Indonesia Perlu Bersatu

Kaum Liberalis dan Syiah telah bersatu-padu dalam menghadang Ahlussunnah wal-jamaah dan mereka telah berhasil memasuki ruang-ruang kekuasaan, mereka memiliki grand desain yang terukur dan program kerja yang rapih serta didukung dengan dana yang besar.

Sementara kalangan Ahlussunnah wal-jamaah terus ribut dan bersikap merasa benar sendiri serta melecehkan saudara mereka Muslimin dari kalangan sesama Ahlussunnah wal-jamaah.

Mereka tidak mau memandang kepada situasi dan kondisi yang sudah semakin membahayakan, dan terus menuntut Ahlussunnah wal-jamaah untuk segera bersatu menghadapi musuh bersama dan mengusung kepentingan bersama, bukan dalam rangka saling membenarkan dalam dosa dan permusuhan.

Pada surat Alhaj ayat 22 Alloh Taala memerintahkan kita untuk memuliakan “Sya’airolloh” dan menjadikannya sebagai bukti akan adanya ketakwaan didalam jiwa.

Seorang Muslim karena didalam jiwanya ada “La Ilaha Illalloh” maka tergolong dari “Sya’airolloh” yang wajib dilindungi darahnya, hartanya dan kehormatannya, sehingga Abdulloh ibnu Abbas RA saat berbicara di sekitar Ka’bah menerangkan bahwa seorang Muslim lebih mulia daripada Ka’bah yang kita muliakan itu.

Didalam surat Al-hujurot ayat 10 Alloh Subhanahu wa Taala menegaskan tentang pentingnya “Ukhuwwah” dan memerintahkan untuk diishlahkannya saudara-saudara kita yang bertikai.

Pada ayat-ayat berikutnya dilarangNya enam perbuatan yang menghancurkan “Ukhuwwah” yaitu : saling melecehkan, saling menghina, saling menjuluki, berburuk-sangka, menyelidiki kesalahan orang dan ghiibah.

Keenam hal ini justru mengalir dengan deras di kalangan Ahlussunnah wal-jamaah, padahal mereka pada saat ini sedang menjadi target adu-domba dan persatuan diantara mereka menjadi hal yang paling ditakuti oleh musuh mereka.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa Ahlussunnah wal-jamaah adalah ibarat kakak tertua ditengah saudara-saudaranya sesama muslimin, maka jika seorang kakak melihat kesalahan pada adiknya mestinya dia memberi nasihat dan mengingatkannya, bukan menjauhinya dan melemparkannya kepada Syaithon.

Sikap merasa benar sendiri, superioritas dan memisahkan diri adalah bentuk ashobiyyah dan hizbiyyah yang terus dikedepankan seolah-olah merupakan sikap yang benar di setiap tempat dan di semua situasi dan kondisi.

Padahal mesti disadari bersama bahwa kita ini ada pada kondisi yang lemah, tidak memiliki posisi yang menentukan, jumlah kita sedikit, sedang kebodohan melanda kemana-mana, sementara musuh kita ada pada posisi mampu mempengaruhi pihak penguasa dan fitnah mereka semakin merajalela.

Mestinya kita berkaca-diri dan segera menyadari kelemahan kita, jangan menunggu Indonesia jadi Yaman atau Suria ataupun Iraq, sadarlah sebelum kita terlambat.