Agama, Sekulerisme, dan Pancasila

“Saya menyayangi Plato tetapi saya lebih menyayangi kebenaran” (Aristoteles). Demikianlah ungkapan Aristoteles atas pentingnya kebenaran dalam kehidupan manusia. Kebenaran yang diambil dari pendalaman dari nilai-nilai moral spiritual yang menjadi kemaslahatan hidup bersama. Aristoteles menyanggah pendapat gurunya Plato yaitu dunia materi yang merupakan obyek pengalaman dan dunia rohani merupakan obyek pengertian yang terpisah sama sekali yang satu dari yang lain, Aristoteles menyanggah itu tidak mungkin. Sebab jika dunia rohani terlepas sama sekali dari dunia materi, dunia rohani tidak berguna bagi dunia materi, bahkan ide-ide rohani (eidos) tidak dapat dikenal manusia yang termasuk dunia materi juga.

Aristoteles menolak tegas pemisahan antara dunia rohani dan materi, lebih jelasnya pada perdebatan saat ini adalah tentang kehidupan akhirat dan kehidupan dunia, atau dalam perdebatan panjang demokrasi adalah tentang pemisahan antara agama dan negara. Bagi Aristoteles kehidupan dunia rohani jika dipisahkan dari kehidupan materi maka rohani tidak berguna lagi dunia materi. Pendapat Aristoteles cukup memiliki landasan pasti bahwa dunia rohani (agama) akan sangat berpengaruh bagi dunia materi (negara).

Agama adalah Moral Bernegara

Pendapat Aristoteles di atas menjadi pembahasan awal tentang makna agama dalam kehidupan bernegara. Dalam ide sekuler, agama seolah-olah menjadi penyebab dan terjadinya konflik manusia dalam bernegara. Agama dalam pandangan sekulerisme merupakan otoritas yang perlu dipisahkan dalam kehidupan bernegara. Maka muncullah gagasan sekulerisme dalam tata kehidupan negara, yang diharapkan dapat meminimalisir terjadinya hegemoni agama atas negara. Karya Plato yang paling terkenal adalah Republic dimana Plato membagi masyarakat ideal dalam tiga kelas. Pertama kelas Pemerintah atau filsuf raja (philoshoper king) kelas ini cerdas, rasional, mampu mengendalikan diri, bijak dan adil. Kedua kelas Tentara (warriors), kelas ini untuk mereka yang kuat, pemberani dan teroganisir secara militer. Ketiga kelas pekerja produktif (workers), kelas ini adalah masyarakat yang harus menyumbangkan keahliannya bagi masyarakat secara produktif. Seperti petani, pedagang, tukang, peternak dan lain-lain. Dalam konsep republic Plato ini semua dikontrol oleh elit pemimpin untuk kebaikan masyarakat. Hal ini sering menjadi tuduhan bahwa konsep republic Plato telah mengilhami model pemerintahan sosialis-komunis yang menafikan adanya peran Tuhan dalam mengurus kehidupan manusia.

Agama dalam demokrasi Indonesia seakan menjadi ancaman bagi kehidupan negara. Agama dan negara harus dipisahkan untuk menhindari konflik antar agama muncul dalam kehidupan bernegara. Demokrasi pun akhirnya semakin layu karena substansi kedaulatan rakyat hilang tergerus kepentingan elit dan lelah dengan konflik agama dan negara. Fakta inipun terjadi dalam demokrasi kita dimana banyak partai yang sebelumnya mengggunakan simbol yang merepresentasikan agama telah berubah citra mengatasnamakan partai nasionalis atau partai terbuka. Walau kemudian ini merupakan strategi beberapa partai untuk menarik hati konstituen diluar basis agama namun akan menimbulkan efek bahwa agama semakin tidak menarik untuk dimasukkan dalam dunia demokrasi. Phobia agama pun akan meningkat tajam manakala agama menjadi alasan beberapa partai untuk meraih suara konstituen dan mengubah platfrom partai. Perlu ada pelurusan konteks bernegara dalam memandang pentingnya agama dalam menegakkan kehidupan bernegara. Jika agama dalam bentuk simbol, platfrom, ideologi atau gerakan dihilangkan niscaya nilai moral akan semakin hilang dalam bingkai kepemimpinan negara.

Menurut Carl Schmith teoritisi politik dari Jerman mengungkapkan “Negara dan konsep-konsep yang dipakai oleh negara tidak lebih dari “sekularised theological concepts” atau konsep-konsep agama yang disekulerkan (dalam arti konsep negara awalnya adalah konsep agama yang di hilangkan aspek ke-Tuhanannya). Pendeknya negara dianggap sebagai bentuk paling modern dari evolusi agama”.

Sekulerisme Menghianati Pancasila

Pada peringatan hari Pancasila tanggal 1 Juni 2011, para pemimpin kita berkumpul untuk menegaskan kembali pancasila sebagai ideologi negara. Hadir dalam acara yang digagas ketua MPR Taufik Kemas yaitu presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan dua mantan presiden BJ. Habibie serta Megawati Soekarno Putri. Dalam acara tersebut mereka berpidato bergantian menyampaikan tentang pentingnya menjadikan kembali nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Ideologi Pancasila telah dianggap luntur pada generasi bangsa saat ini. Kita semua juga harus bertanya sudahkan nilai Pancasila diamalkan (diimplementasikan) dalam kehidupan para pemimpin kita? Demokrasi kita faktanya telah menerima ideologi yang salah dan menolak pelan ideologi yang sebenarnya mendukung Pancasila.

Para pemimpin kita dengan ada yang berani dan malu-malu menyatakan cara politik sekuler yang sebenarnya berlawanan dengan Pancasila. Sekulerisme yang memisahkan kehidupan agama dan negarapun tidak menjadi masalah bagi para pemimpin kita. Tapi ideologi agama sebagai sumber moral semakin dijauhi dari system bernegara kita. Mulai dari system politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya, agama semakin dihindari dalam ruang publik. Padahal dalam Pancasila sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pada sila pertama ini menegaskan bahwa kehidupan bernegara harus didasarkan pada “Ketuhanan Yang Esa”. Sila ini menginginkan agama menjadi tata etika dalam kehidupan bangsa, Namun kita tidak menyadari bahwa sekulerisme telah menghianati sila pertama Pancasila. Sekulerisme menyebabkan bangsa ini menghilangkan agama dalam nilai-nilai bernegara. Bagaimana mungkin sila pertama dapat diamalkan dengan baik jika ide sekulerisme dibiarkan menggerogori ide baik yaitu moral agama dalam kehidupan Ketuhanan sebagaimana Pancasila menyatakan.

Pengamalan kembali nilai-nilai Pancasila semestinya dimulai dari pengamalan sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dengan mendekatkan kembali agama delam kehidupan bernegara. Kita harus merekatkan kembali kehidupan agama untuk dapat memberikan nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa, mulai dari pendidikan, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan merekatnya nilai agama dan negara diharapkan akan menjadi sebuah transformasi nilai moral dalam memunculkan etika bernegara. Agama tetap menjadi hal yang paling penting dalam menyelamatkan moral bangsa. Tafsir sah tentang Pancasila akan semakin buram jika agama seolah-olah menjadi otoritas yang berlawanan dengan Pancasila, sedangkan kita tahu penggali Pancasila Soekarno dan kawan-kawan founding fathers yang lain adalah warga beragama. Mengutip ungkapan filsuf yang disampaikan Aristoteles tentang cinta kebenaran.

Penulis juga ingin menyampaikan, “Saya menyayangi Pancasila tetapi saya lebih menyayangi agama”.

Oleh: Dharma Setyawan, Lampung.
FacebookTwitterBlog