28 Pernyataan Para Tabi’in tentang Bid’ah dan Pelakunya

  1. Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dari Al Hasan, ia berkata, “Pelaku bid’ah tidaklah bertambah kesungguhannya, baik shalat maupun puasa, melainkan dirinya bertambah jauh dari Allah.”
  2. Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Abu Idris Al Khulani, ia berkata, “Melihat api di masjid yang tidak dapat aku padamkan lebih aku cintai daripada melihat bid’ah yang tidak dapat aku rubah (menjadi benar).”
  3. Diriwayatkan dari Fudhail bin Iyyadh, ia berkata, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan tidaklah merugikanmu karena sedikit orang-orang yang mengikutimu, jauhilah olehmu jalan-jalan kesesatan, dan janganlah tepedaya oleh banyaknya orang-orang yang celaka.”
  4. Diriwayatkan dari Al Hasan, ia berkata, “Janganlah kamu menggauli pengikut hawa nafsu, sebab ia akan menghembuskan perkara-perkara yang telah kamu ikuti darinya dalam hatimu dan kamu pasti akan celaka, dan jika kamu menentangnya maka hatimu akan tersiksa.”
  5. Diriwayatkan dari Al hasan dalam firman Allah Ta a/a, “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebe/um kamu.” (Qs. Al Baqarah [2]: 183) ia berkata, “Allah SWT telah mewajibkan puasa atas orang-orang Islam sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum mereka. Adapun orang-orang Yahudi, pasti menolaknya, sedangkan orang-orang Nasrani menganggap puasa telah membuat mereka susah. Mereka (orang-orang Nasrani) menambahkannya sepuluh hari serta mengakhirinya pada waktu yang lebih meringankan mereka dalam berpuasa.” Al Hasan ketika meriwayatkan hadits ini berkata, “Perbuatan yang sedikit sesuai dengan Sunnah lebih baik daripada perbuatan yang banyak namun dalam kerangka bid’ah.”
  6. Diriwayatkan dari Abu Qilabah, ia berkata, “Janganlah kamu menggauli para pengikut nafsu (kelompok yang sesat) dan jangan pula kamu berdebat dengan mereka, karena aku tidak merasa aman, sebab mereka akan memasukkanmu dalam kesesatan mereka serta mencampur- adukkan atasmu semua perkara yang telah kamu ketahui.” Ayyub berkata, “Mereka adalah —demi Allah— para ulama yang berakal.”
  7. Diriwayatkan dari Abu Qilabah, ia berkata, “Sesungguhnya pengikut hawa nafsu sama saja dengan pengikut kesesatan, dan aku pastikan akhir perjalanan mereka adalah neraka.”
  8. Diriwayatkan dari Al Hasan, ia berkata, “Janganlah kamu menggauli ahli bid’ah, karena ia akan membuat hatimu sakit.”
  9. Diriwayatkan dari Ayyub As-Sakhtiyani, ia berkata, “Sesungguhnya ahli bid’ah tidak bertambah kesungguhannya (beribadah) melainkan semakin menjauh dirinya dari Allah.”
  10. Diriwayatkan dari Abu Qilabah, ia berkata, “Tidaklah seseorang membuat bid’ah melainkan dihalalkan baginya pedang.”
  11. Ayyub —menyebut ahli bid’ah dengan golongan Khawarij— berkata, “Sesungguhnya orang-orang Khawarij berselisih tentang (nama) dan mereka sepakat dengan pedang (mengadakan peperangan).”
  12. Diriwayatkan dari Ibnu Wahab dari Sufyan, ia berkata, “Seorang ahli fikih berkata, ‘Aku tidak ingin menunjukkan (mengajarkan ilmu) kepada semua manusia sementara aku menyesatkan satu orang’.”
  13. Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Sufyan, ia berkata, “Perkataan tidak akan terwujud kecuali dengan perbuatan, sedangkan perkataan dan perbuatan tidak akan terwujud kecuali dengan niat. Jadi, perkataan, perbuatan, serta niat tidak akan terwujud kecuali dengan mengikuti Sunnah.”
  14. Diriwayatkan dari Al Ajiri bahwa Ibnu Sirin berkata, “Orang yang paling cepat keluar dari Islam adalah orang yang mengikuti hawa nafsu.”
  15. Diriwayatkan dari Ibrahim, ia berkata, “Janganlah kamu berrbincang- bincang dengannya, karena aku takut hatimu akan berpaling dari Islam.”
  16. Diriwayatkan dari Hisyam bin Hassan, ia berkata, “Allah tidak akan menerima puasa, shalat, haji, jihad, umrah, sedekah, dan semua amal yang wajib dan yang sunah, yang dilakukan oleh pelaku bid’ah. —Ibnu Wahab menambahkan— akan datang kepada manusia suatu zaman yang mencampuradukkan antara perkara yang hak dengan yang batil. Jika telah datang maka doa tidak lagi berarti kecuali seperti doa orang yang tenggelam.”
  17. Diriwayatkan dari Yahya bin Abu Katsir, ia berkata, “Jika kamu bertemu dengan pelaku bid’ah di jalanan, maka kamu sebaiknya melewati jalan yang lain.”
  18. Sebagian ulama salaf berkata, “Orang yang menggauli seorang pelaku bid’ah, maka terlepas darinya penjagaan, dan diserahkan semuanya kepada dirinya.”
  19. Diriwayatkan dari Awwam bin Hausyab, ia berkata kepada anaknya, “Wahai Isa, perbaikilah hatimu dan kurangilah hartamu.” Ia berkata, “Demi Allah, aku lebih senang melihat Isa duduk-duduk bersama pemusik, pemabuk, dan pelaku kejahatan, daripada melihatnya duduk-duduk bersama orang-orang yang membuat perrnusuhan.” Ibnu Wadhdhah berkata, “Yang dimaksud (orang-orang yang membuat permusuhan) dalam pernyataan tersebut adalah ahli bid’ah.”
  20. Beberapa orang berkata kepada Abu Bakar bin Ayyasy,”Wahai Abu Bakar, siapakah orang yang mulia?” la menjawab, “Orang yang apabila disebutkan tentang kesesatannya ia tidak marah sedikit pun.”
  21. Yunus bin Ubaid berkata, “Sesungguhnya orang yang terfitnah dengan perkara Sunnah, kemudian diterima oleh orang yang asing, maka pelakunya lebih asing darinya.”
  22. Diriwayatkan dari Yahya bin Abu Umar Asy-Syaibani, ia berkata, “Sesungguhnya telah dikatakan bahwa Allah tidak akan menerima pelaku bid’ah dengan tobatnya dan seorang pelaku bid’ah hanya dapat berpindah ke tempat yang lebih buruk darinya.”
  23. Diriwayatkan dari Abu Al Aliyah, ia berkata, “Pelajarilah Islam, dan jika kamu telah mempelajarinya maka janganlah kamu meninggalkannya, dan berpegang teguhlah pada jalan yang lurus, karena itu adalah Islam. Janganlah kamu berbelok ke kanan dan ke kiri serta ikutilah Sunnah Nabimu dan semua perkata yang dijalankan oleh para sahabat beliau sebelum mereka membunuh sahabat-sahabat mereka sendiri dan sebelum mereka berbuat seperti yang telah mereka perbuat. Telah dibacakan kepada kita Al Qur’an sebelum mereka membunuh sahabat-sahabat mereka sendiri dan sebelum mereka berbuat seperti yang telah mereka perbuat. Jauhilah olehmu ajaran yang menyesatkan, yang menghembuskan perselisihan dan permusuhan di antara manusia.” Disebutkan hadits tersebut kepada Al Hasan, ia lalu berkata, “Semoga Allah merahmatinya. Ia memang benar.” Diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadhdhah dan yang lain. Malik sering membaca syair, Sebaik-baik perkara agama adalah yang sesuai Sunnah Seburuk-buruknya perkara adalah yang dibuat-buat dan perkara bid’ah.
  24. Diriwayatkan dari Muqbil bin Hayyan, ia berkata, “Pelaku ajaran sesat adalah bencana umat Muhammad SAW. Sesungguhnya mereka mengagungkan Nabi SAW dan keluarganya untuk menjerat dengan sebutan yang baik tersebut dihadapan orang-orang bodoh, kemudian menggiring mereka pada kekeliruan dan kehancuran. Mereka sama seperti orang yang menuangkan getah pohon Sibir dan mengatakan bahwa hal itu adalah madu, serta orang yang menuangkan racun yang mematikan dan mengatakan bahwa itu adalah penawar racun. Oleh karena itu, beritahulah mereka, karena jika kamu tidak tenggelam di lautan air, kamu pasti tenggelam di lautan kesesatan yang lebih dalam dasarnya, lebih dahsyat goncangannya dan lebih banyak halilintarnya, atau seperti lautan serta unsur yang terdapat di dalamnya yang sulit dilukiskan. Jadi, terbelahlah niat yang kamu gunakan untuk melintasi gelombang kesesatan dengan mengikuti Sunnah.”
  25. Diriwayatkan dari Ibnu Mubarak, ia berkata, “Ketahuilah saudaraku semuanya! Sesungguhnya kematian adalah rahmat bagi setiap muslim yang berjumpa Allah dengan membawa pahala Sunnah. Sesungguhnya kita milik Allah dan hanya kepada-Nya kita kembali. Kepada Allah kita mengadukan tentang kesusahan kita, kepergian para saudara kita, sedikitnya para penolong kita, dan timbulnya bid’ah di antara kita. Hanya kepada Allah kita mengadukan bencana yang besar ini; dengan kepergian para ulama dan Ahlus-Sunnah serta munculnya bid’ah.”
  26. Ibrahim At-Taimi berdoa, “Ya Allah, lindungilah aku dengan agama- Mu dan Sunnah nabi-Mu dari perselisihan dalam perkara yang hak, dari mengikuti hawa nafsu, dari jalan-jalan kesesatan, dari perkara- perkara yang syubhat, serta dari keraguan dan perpecahan.”
  27. Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, bahwa ia menulis surat yang isi, “Sesungguhnya aku memperingatkan kalian untuk tidak condong kepada para pengikut kesesatan dan penyimpangan yang menyesatkan.”
  28. Perkataan Umar di atas mimbar (ketika orang-orang membaiat Umar) setelah ia memuji Allah dan mengagungkan-Nya: “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya tidak ada nabi setelah Nabi kalian, tidak ada kitab setelah kitab kalian, tidak ada Sunnah setelah Sunnah Nabi kalian, dan tidak ada umat setelah kalian. Ketahuilah, sesungguhnya perkara yang halal adalah yang telah dihalalkan Allah dalam kitab-Nya atas lisan Nabi-Nya, maka hukumnya tetap halal hingga Hari Kiamat. Ketahuilah pula bahwa perkara yang haram adalah yang diharamkan Allah di dalam kitab-Nya atas lisan Nabi-Nya, maka hukumnya tetap haram hingga Hari Kiamat. Sesungguhnya aku tidak membuat sesuatu yang baru, tetapi hanya mengikuti. Aku bukanlah seorang pembuat hukum tetapi hanya menjalankannya. Aku bukanlah pengumpul pajak, tetapi hanya meletakkannya sebagaimana yang telah diperintahkan. Aku bukanlah orang yang paling baik di antara kalian, tetapi orang yang paling berat menanggung beban. Ketahuilah, tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan kepada Sang Pencipta.” Setelah itu ia turun dari mimbar.

Oleh sebab itu Urwah bin Udzainah —dari Udzainah Yartsiah— berkata dalam syaimya,

Engkau telah menghidupkan Ilmu dan Sunnah dalam Islam

Dan tidaklah engkau membuat hukum dari hukum-hukum

sebagai tambahan

Setiap hari engkau memerangi bid’ah

Membangun untuk kami Sunnah yang telah runtuh

Perkataan Umar bin Abdul Azis yang sangat diperhatikan dan dihafal oleh para ulama, bahkan sangat disukai oleh Imam Malik, yaitu:

“Rasulullah SAW dan para pemimpin setelah beliau membuat Sunnah untuk digunakan sebagai pembenaran terhadap kitab Allah, sebagai kesempurnaan terhadap ketaatan kepada Allah, serta sebagai benteng atas agama Allah. Jadi, tidak ada hak bagi seseorang untuk mengubah dan mengganti atau membuat sesuatu yang bertentangan dengannya. Orang yang memakainya pasti akan mendapatkan petunjuk, orang yang menjadikannya sebagai senjata pasti akan menang, dan orang yang mengingkarinya serta mengikuti selain jalan kaum muslim pasti dimasukkan ke dalam neraka (oleh Allah) tempat kembali yang paling buruk.

Perkataannya tersebut singkat namun mengandung pokok-pokok ajaran agama yang baik, diantaranya adalah yang kita jalankan, Tidak ada hak bagi seseorang untuk mengganti atau membuat sesuatu yang bertentangan dengannya.” Secara keseluruhan, hal tersebut telah menghapuskan perkara bid’ah. Sedangkan perkataannya, “Orang yang memakainya pasti akan mendapatkan petunjuk….” adalah sebagai pujian bagi orang yang mengikuti Sunnah dan sebagai celaan bagi orang yang menyelisihinya dengan dalil-dalil yang menguatkan perkara tersebut, sebagaimana firman Allah SWT, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terbadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Qs. An-Nisaa’ [4): 115).

Demikian pula yang telah dijalankan oleh para pemimpin setelah Nabi SAW yang menjadi Sunnah dan bukan sama sekali bid’ah, meski tidak tertera dalam kitab Allah atau Sunnah Nabi secara khusus, akan tetapi diterangkan secara umum, sebagaimana yang tertera dalam Hadits Al Irbadh bin Sariyah RA, tatkala beliau bersabda,

“Hendaknya kamu berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Genggamlah erat-erat dan gigitiah ia dengan gigi geraham, dan berhati-hatilah terhadap hal-hal —dalam Islam—yang dibuat-buat.”

Beliau menyepadankan antara sunnah Khulafaurrasyidin dengan Sunnahnya. Jadi, yang mengikuti sunnah beliau dengan mengikuti sunnah mereka, sedangkan perkara-perkara yang baru dianggap menyelisihi Sunnah dan tidak sedikit pun mendapat bagian. Para sahabat RA dalam menentukan sunnah adalah berdasarkan Sunnah Nabi SAW, atau berdasarkan pernahaman mereka dari Sunnah Nabi SAW —baik secara keseluruhan maupun secara khusus— yang hanya diketahui oleh mereka. Hal ini nanti insya Allah akan diterangkan.

Abu Abdullah —seorang hakim— telah meriwayatkan dari Yahya bin Adam, perkataan para salafushshalih, “Sunnah Abu Bakar dan Umar RA” Maksudnya adalah setelah Nabi SAW wafat mereka berdua masih pada Sunnah tersebut dan dirinya tidak membutuhkan pendapat orang lain selama ada perkataan Nabi SAW. Adapun pendapat yang benar dari dirinya hanyalah perwujudan dari hadits Irbadh RA. Berarti, tidak terdapat penambahan pada hal-hal yang telah ditetapkan oleh Sunnah beliau.

Walaupun demikian, ia sangat khawatir Sunnah tersebut terhapus oleh Sunnah yang lain, sehingga para ulama merasa perlu untuk melihat tingkah laku Khulafaurrasyidin setelah Nabi, supaya mereka yakin bahwa perkara tersebut telah dijalani oleh Nabi SAW hingga wafatnya, tanpa ada sesuatu yang menggantinya, sebab mereka mengambil suatu hukum berdasarkan kejadian, sedangkan adanya kejadian adalah termasuk perkara beliau. Atas dasar inilah Malik bin Anas menentukan hukum dengan amal perbuatan dan mengembalikan suatu perkara kepadanya ketika terjadi pertentangan dalam Sunnah.

Dari dasar-dasar yang terkandung dalam atsar Umar bin Abdul Aziz tersebut dapat diketahui bahwa sunnah para pemimpin dan perbuatan para pemimpin merupakan hasil penafsiran terhadap kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya SAW sesuai dengan perkataannya, “Untuk digunakan sebagai pembenaran terhadap kitab Allah, sebagai benteng atas agama Allah….” Inilah dasar-dasar yang telah ditetapkan selain pada pembahasan ini dan perkataan Umar bin Abdul Aziz itu mencakup dasar-dasar agama yang baik serta faidah yang banyak.

Yang sangat mulia dari perkataan Abu Ilyas Al Albani, adalah “Tiga hal yang jika ditulis pada secarik kertas akan mencukupi karena di dalamnya mencakup kebaikan dunia serta akhirat, yaitu: Ikuti (Sunnah) dan jangan berbuat bid’ah, rendah diri, dan tidak angkuh. Orang yang bersikap wara* pasti tidak berbuat semaunya.”

Atsar-atsar ulama salaf dalam perkara ini sangatlah banyak.

Imam Asy Syathibi